ARTICLE AD BOX

PADA 20 Februari lalu, Presiden Prabowo telah melantik 481 kepala wilayah hasil pilkada serentak 2024. Sebelumnya, sebanyak 22 kepala wilayah di Aceh telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Aceh sesuai dengan pengaturan dalam UU No11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Saat ini, para kepala wilayah tersebut tengah mengikuti retreat (retret) nan diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam rangka penguatan kapabilitas dan penyelarasan program antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, saat ini tersisa 40 wilayah nan tetap bentrok hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) dan diputus perkaranya pada Senin, 24 Februari 2025. Sebanyak 40 perkara nan diputus tersebut meliputi 3 pemilihan gubernur, 3 wali kota, dan 34 bupati. Sebelumnya, pada 4-5 Februari sebanyak 270 perkara sudah dibacakan putusan dismissal-nya oleh MK dan dinyatakan tidak bersambung ke tahap pembuktian.
Baik pemohon, termohon, maupun pihak mengenai pasti berdebar menantikan seperti apa putusan nan dibacakan MK. Meski sidang telah berjalan secara terbuka dan transparan serta bisa disimak langsung oleh publik melalui beragam platform digital nan tersedia, tetap saja tidak mudah menebak ke mana arah putusan MK. Menantikan apakah ada kejutan alias terobosan nan menandai arah baru norma pemilu dan konstitusi di Indonesia.
SENGKETA HASIL
Dalam studi kepemiluan global, Katherine Ellena, master norma dari International Foundation for Electoral System (IFES, 2023), menyebut bahwa dalam menangani perselisihan hasil pemilu, ketika menilai dalil mengenai pelanggaran alias penyimpangan atas prosedur, aturan, alias norma nan berlaku, pengadilan bisa menggunakan tiga pendekatan.
Pertama, apakah pemohon dapat menunjukkan bahwa pemenang tidak bakal menang jika tidak ada pelanggaran tersebut. Kedua, apakah pemohon dapat membuktikan bahwa suatu pelanggaran mungkin memengaruhi hasil. Ketiga, dengan menggunakan Kode/Kitab Hukum Praktik nan Baik dalam Pemilu oleh Komisi Venesia (Code of Good Practice in Electoral Matters Venice Commission) berupa negara kudu menyediakan pembatalan hasil pemilu 'jika pelanggaran dapat memengaruhi hasilnya'.
Menyelesaikan sengketa hasil pemilihan bukan perihal baru bagi MK meskipun tahun ini adalah momentum pertama bagi MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pilkada serentak nasional di seluruh wilayah Indonesia. MK bukan hanya berjibaku dengan banyaknya wilayah nan bersengketa, melainkan juga batas waktu penanganan, ialah maksimal 45 hari kerja, nan kudu disiasati secara optimal.
Para pihak telah diberi kesempatan oleh MK secara setara dan setara untuk menghadirkan perangkat bukti, saksi, ataupun ahli. Untuk pilkada gubernur, mereka bisa menghadirkan maksimal enam orang saksi dan ahli, sedangkan pilkada bupati/walikota dibatasi maksimal empat orang saja.
Kebijakan itu disikapi berbeda oleh para pihak. Ada nan mengoptimalkan kehadiran mahir untuk didengar keterangannya dan ada nan lebih memilih untuk menghadirkan lebih banyak alias apalagi hanya saksi dalam pembuktian persidangan. Tentu pilihan tersebut dibuat sesuai pertimbangan masing-masing, mana nan lebih menguntungkan dari sisi pembuktian dan bisa meyakinkan majelis pengadil konstitusi.
Jika dicermati, 40 perkara nan masuk tahap pembuktian di MK, materi permohonan utamanya mempersoalkan hal-hal sebagai berikut: (i) pelanggaran syarat calon berupa tidak mengumumkan status sebagai mantan terpidana, tetap berstatus terpidana, tidak melaporkan laporan kekayaan kekayaan terbaru, belum mengundurkan diri sebagai aparatur sipil negara, masa kedudukan calon petahana nan sudah dua periode, ataupun piagam nan digunakan diragukan keabsahannya.
(ii) pelanggaran prosedur dalam penggunaan kewenangan pilih di tempat pemungutan bunyi nan mengakibatkan keraguan terhadap keabsahan hasil pilkada; (iii) terjadinya kecurangan nan sistematis, terstruktur, dan masif khususnya mengenai dengan ketidaknetralan kepala desa dan praktik politik uang, serta (iv) pilkada bercalon tunggal nan diselenggarakan tanpa opsi kotak kosong di surat suara.
Penyelesaian sengketa hasil pilkada sangat ditunggu para pihak dan masyarakat di wilayah bersengketa. Selain persoalan dalam penyelenggaraan pilkada nan didalilkan, perolehan bunyi hasil pilkada nan jadi objek sengketa juga tidak terpaut jauh. Misalnya, pada Pilkada Buton Tengah, bunyi pemohon dan pihak mengenai hanya beda 586 suara. Sementara itu, pada Pilkada Barito Utara, perolehan bunyi hanya selisih delapan suara. Begitu sengit dan kompetitif.
Belajar dari praktik selama ini, MK punya kecenderungan bakal bersikap sangat tegas dalam memutus perkara nan berangkaian dengan pelanggaran syarat calon. Keterpenuhan syarat calon merupakan perihal nan berkarakter prinsip dan esensial bagi MK.
Dalam situasi nan disebut MK sebagai 'kondisi norma spesifik', MK tidak sungkan melakukan terobosan norma nan sangat progresif, apalagi sampai menyimpangi aspek persyaratan formil, demi menegakkan keterpenuhan syarat calon. Contohnya, pada perkara perselisihan hasil Pilkada Sabu Raijua Tahun 2020 melalui Putusan MK No.135/PHP.BUP-XIX/2021. Saat itu pemenang pilkada dibatalkan keterpilihannya oleh MK dan diperintahkan melakukan pemungutan bunyi ulang lantaran didapati calon bupati terpilih mempunyai paspor dari negara lain alias berkewarganegaraan asing.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, MK dalam sejumlah perkara biasanya bakal memerintahkan dilakukannya pemungutan bunyi ulang (PSU), penghitungan surat bunyi ulang (PSSU), ataupun rekapitulasi bunyi ulang andaikan terbukti telah terjadi pelanggaran terhadap prosedur, aturan, alias norma dalam proses pemungutan dan penghitungan bunyi nan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil pemilihan.
Sebaliknya, jika menurut MK pelanggaran prosedur tersebut terbukti terjadi, tapi tidak memenuhi jumlah dan prinsip signifikansi untuk dilakukannya pemungutan bunyi ulang lantaran tidak memengaruhi hasil akhir pemilihan, MK bakal menolak dalil-dalil ataupun petitum nan diajukan. Contohnya pada perkara perselisihan hasil Pemilihan Bupati Konawe Selatan 2020 dan perkara perselisihan hasil Pemilihan Bupati Tapanuli Utara Tahun 2024.
Menyikapi pelanggaran prosedur nan terbukti dilakukan penyelenggara, tetapi tidak memengaruhi hasil pemilihan, MK dalam putusannya selalu mengingatkan dan memerintahkan KPU/KIP ataupun Bawaslu/panwaslih beserta jajarannya untuk mengambil tindakan tegas nan bisa memberi pengaruh jera agar perihal tersebut tidak terulang kembali pada masa nan bakal datang, termasuk dengan memerintahkan agar KPU tidak lagi merekrut petugas pemilu nan bermasalah dalam penyelenggaraan pemilihan berikutnya.
Selain itu, MK senantiasa mengingatkan KPU/KIP dan Bawaslu/KIP untuk terus meningkatkan efektivitas pelatihan, pengarahan teknis, penguatan kapasitas, dan penegakan disiplin internal kepada seluruh jejeran petugas penyelenggara pemilu agar bisa menyelenggarakan tahapan-tahapan sesuai dengan asas dan prinsip pemilu nan luber, jujur, adil, dan demokratis.
Penyelesaian sengketa hasil oleh MK kali ini berada di tengah gencarnya semangat efisiensi anggaran nan apalagi juga berakibat pada kelembagaan MK. Dalam sejumlah pemberitaan media disebut bahwa MK terkena efisiensi anggaran sebesar Rp226,1 miliar. Akibatnya, dengan kondisi itu, MK hanya bisa bayar penghasilan dan tunjangan pegawai sampai Mei 2025.
Sebagai penegak konstitusi dan demokrasi, tentu kita meyakini MK tak bakal pernah mengabaikan kredibilitas dan keadilan pemilu nan menjadi tuntutan para pihak dalam memutus perkara sengketa hasil pilkada.
Konstitusi dan kerakyatan tak bisa dibelenggu, apalagi disandera oleh politik anggaran secara sempit. Peminggiran kredibilitas dan keadilan pemilu justru bisa menimbulkan ekses nan lebih mahal akibat ketidakpuasan massa nan berkepanjangan lantaran tidak mendapatkan penyelesaian nan ahli dan berkeadilan dalam kontestasi pemilihan.
HORMATI PUTUSAN
Selain dua wilayah pilkada bercalon tunggal nan dimenangi oleh kotak kosong sehingga kudu dilakukan pilkada ulang, ialah Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka, juga ada wilayah lain nan bakal menyelenggarakan pemungutan bunyi ulang lantaran perintah MK melalui putusan nan dibacakan pada 24 Februari ini. Semua pihak diminta menghormati putusan MK dan melaksanakannya sesuai dengan isi pertimbangan norma dan amar putusan secara konsisten dan menyeluruh.
Pasti tetap ada kontroversi ataupun pihak-pihak nan merasa tidak puas atas putusan MK. Maka itu, di saat itulah komitmen dan kesetiaan kita diuji dalam berkonstitusi dan berdemokrasi. Sebagai negara hukum, suka alias tidak, MK adalah pengadilan nan berkuasa menjadi pemutus akhir atas perselisihan hasil pilkada. MK sebagai pelabuhan terakhir (last resort) bagi para pencari keadilan pemilu untuk menyandarkan kapal setelah berlayar di samudra perjuangan hukum.
Setelah putusan MK dibacakan, dalam ranah akademik dan upaya untuk terus memperkuat mutu pengadilan, tentu para pihak tetap bisa mengkritisi dan mengkaji putusan MK. Namun, isi putusan MK tetap kudu dilaksanakan oleh semua pihak sebagaimana mestinya.
Pascaputusan MK, tetap banyak pekerjaan rumah nan kudu dilakukan, baik dalam lingkup kewenangan MK maupun reformasi norma pemilu secara keseluruhan. Tercatat sampai saat ini tetap ada sejumlah pengetesan undang-undang sektor kepemiluan nan belum diputus MK. Misalnya, perkara pengetesan model keserentakan pemilu nan dimohonkan oleh Perludem serta perkara pengetesan konstitusionalitas penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai pengawas netralitas ASN nan dimohonkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan kawan-kawan. Tentu publik tetap menanti sikap MK atas perkara-perkara strategis tersebut.
Sejalan itu, pembentuk undang-undang juga diharapkan bisa merangkum beragam pembelajaran dari penyelenggaraan pilkada serentak 2024 untuk mewujudkan perbaikan izin pilkada ke depannya. Apalagi, revisi UU Pilkada merupakan salah satu RUU prioritas dalam Prolegnas Tahun 2025.
Pilkada selama ini telah berjalan cukup baik dan melembaga dalam praktik kerakyatan dan ketatanegaraan Indonesia. Pilkada juga bekerja cukup baik sebagai instrumen resolusi bentrok dan katalisator politik bagi elite-elite daerah. Jangan lagi kita mundur ke belakang dengan wacana pilkada tidak langsung.
Meski kudu diakui, tetap banyak perihal nan mesti dibenahi, khususnya menyangkut pekerjaan rumah besar dalam menghantarkan calon-calon terbaik pilihan rakyat nan bakal bisa berkontribusi bagi pencapaian tujuan pembangunan dan peningkatan mutu kehidupan masyarakat di daerah.
Untuk itulah, tangan dingin pembentuk undang-undang diharapkan bisa melahirkan revisi UU Pilkada nan berbobot dan demokratis. Di saat nan sama partai politik juga terus berbenah untuk memastikan praktik pencalonan betul-betul mencerminkan kerakyatan internal partai nan sehat, bermutu, kompetitif, kredibel, dan berintegritas.
Karena itu, pada masa nan bakal datang, tidak ada lagi persoalan calon nan tidak memenuhi syarat kudu berujung sengketa sampai ke MK ataupun praktik kecurangan pilkada nan terbiarkan akibat pragmatisme mau menang menggunakan cara-cara nan yang tidak sejalan dengan asas prinsip pemilu demokratis dan konstitusional. Semoga.