Anggota Komisi Vi Dpr Ri Rivqy Abdul Halim Ingatkan Hak Konsumen Harus Dipenuhi

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 7 tersangka mengenai kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.

Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim alias Gus Rivqy menilai, dari modus korupsi mengoplos minyak Pertalite menjadi Pertamax berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen seperti kendaraan bermotor.

Dia menegaskan, konsumen tentu mempunyai kewenangan untuk menggugat dan meminta tukar rugi dari PT Pertamina mengenai kasus tersebut.

"Gugatan konsumen jika terbukti dirugikan dari oplos minyak tersebut nantinya mesti diproses oleh pemerintah alias pihak nan berwenang. Ini merupakan kewenangan para konsumen nan mesti dipenuhi," ujar Rivqy Abdul Halim, melalui keterangan tertulis, Selasa (25/2/2025).

Dia mengatakan, akibat kerugian dari oplos Pertalite menjadi Pertamax dijelaskan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini dapat mengakibatkan kerusakan pada mesin kendaraan bermotor.

"Misalnya pembakaran bahan bakar pada mesin kendaraan nan tidak maksimal dan hasil pembakaran nan kotor dapat mengendap di mesin kendaraan," terang Rivqy.

Menurut dia, kerugian konsumen minyak oplosan dari pengguna kendaraan bermotor dapat menjadi dasar gugatan kepada PT Pertamina dan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

"Dijelaskan dalam undang-undang tersebut ada beberapa kewenangan konsumen, diantaranya kewenangan atas info nan benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan agunan peralatan dan alias jasa," kata Rivqy.

"Serta kewenangan untuk mendapatkan kompensasi, tukar rugi dan alias penggantian, andaikan peralatan dan alias jasa nan diterima tidak sesuai dengan perjanjian alias tidak sebagaimana mestinya," sambung dia.

Fasilitas paylater memang mendorong keahlian konsumsi milenial dan gen-Z, nan disebut-sebut membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, ada ancaman finansial menghantui penggunanya.

Dorong Sejumlaah Pihak Bantu Masyarakat

Mengingat Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) masyarakat Indonesia nan tetap relatif rendah, Rifqy nan berasal dari wilayah pemilihan (Dapil) Jawa Timur (Jatim) IV mendorong kepada pihak nan mempunyai kompetensi untuk membantu masyarakat nan mau mengusulkan gugatan mengenai kerugian dari kasus korupsi minyak oplosan ini.

"Ada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia alias YLKI, kemudian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat alias LPKSM diharapkan dapat membantu masyarakat nan mau menggugat lantaran merasa dirugikan dari kasus korupsi oplosan minyak. Mekanismenya bisa melalui pengadilan alias non pengadilan, serta class action alias perorangan," terang dia.

"Terpenting jangan sampai kewenangan konsumen tidak terpenuhi. Dan pemerintah melalui pihak nan berkuasa jangan juga menutup mata dengan potensi kerugian nan dialami konsumen dari gugatan mereka mengenai kasus korupsi minyak oplosan tadi," pungkas Rivqy.

Kejagung Tetapkan 7 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah di Pertamina

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan 7 orang tersangka pada perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023, Senin (24/2/2025).

"Berdasarkan perkembangan investigasi tersebut, Tim Penyidik menyimpulkan dalam pembeberan perkara bahwa telah terdapat serangkaian perbuatan tindak pidana korupsi nan dapat merugikan finansial negara dari adanya perangkat bukti cukup," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar dalam siaran pers nan diterima, Selasa (25/2/2024).

Adapun ketujuh tersangka tersebut adalah RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Tiga tersangka lainnya adalah MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, serta GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan norma tersebut, mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun, nan berasal dari komponen kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, erugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun, dan kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun," ujar Harli.

Adanya Pengkondisian Impor

Kasus ini bermulai dari terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 nan mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi dalam negeri.

Peraturan tersebut pun wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan pertamina diharuskan mencari pasokan minyak bumi dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

"Namun berasas kebenaran penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) nan dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor," ujar Harli.

Ia juga membeberkan, saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak.

"Produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal nilai nan ditawarkan tetap masuk range nilai HPS, Produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan argumen spesifikasi tidak sesuai (kualitas) kilang, tetapi faktanya minyak mentah bagian negara tetap sesuai kualitas kilang dan dapat diolah," beber Harli.

Dirinya mengatakan, saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan beragam alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor).

"Harga pembelian impor tersebut andaikan dibandingkan dengan nilai produksi minyak bumi dalam negeri terdapat komparasi komponen nilai nan tinggi," kata Harli.

Adanya Permufakatan Jahat

Harli menyebut, aktivitas pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga menunjukkan adanya permufakatan jahat di dalamnya.

"Fakta adanya pemufakatan jahat (mens rea) antara Penyelenggara Negara (Tersangka SDS, Tersangka AP, Tersangka RS, dan Tersangka YF) berbareng DMUT/Broker (Tersangka MK, Tersangka DW, dan Tersangka GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan nilai nan sudah diatur, bermaksud mendapat untung secara melawan norma dan merugikan finansial negara," sebutnya.

"Pemufakatan tersebut, diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan langkah pengkondisian pemenangan DMUT/Broker nan telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan nilai tinggi (Spot) nan tidak memenuhi persyaratan," jelas Harli.

Ia pun mengungkapkan, dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92. Padahal hanya membeli Ron 90 alias lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92.

"Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh kebenaran adanya mark up perjanjian shipping (pengiriman) nan dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13%-15% secara melawan norma sehingga Tersangka MKAR mendapatkan untung dari transaksi tersebut," ungkap Harli.

Selengkapnya