Ambiguitas Komitmen Iklim Para Pendana Infrastruktur Gas Di Indonesia

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Ambiguitas Komitmen Iklim Para Pendana Infrastruktur Gas di Indonesia Ilustrasi(freepik.com)

INDONESIA mempunyai persediaan gas nan besar dengan kebutuhan biaya pengembangan prasarana mencapai USD 32,42 miliar. 

Meski demikian, laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia menemukan bahwa pengembangan proyek gas bisa menghalang Indonesia memenuhi komitmen Perjanjian Paris. 

Sebab emisi dari penggunaan gas, khususnya metana mempunyai akibat signifikan pada kerusakan iklim, menghalang upaya Indonesia bertransisi ke sumber daya terbarukan nan lebih bersih, dan terus mendorong ketergantungan pada bahan bakar fosil. 

Pembiayaan proyek gas melibatkan lembaga finansial layaknya Multilateral Development Banks (MDBs) seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group. 

Meski demikian, sokongan tersebut mencerminkan ambiguitas pemenuhan komitmen suasana bank-bank tersebut. Pasalnya, mereka telah mengeluarkan kebijakan daftar pengecualian pendanaan untuk daya kotor, termasuk gas alam cair alias Liquefied Natural Gas (LNG). 

“Kami memandang pendanaan LNG adalah bagian dari strategi dunia nan menunda transisi daya sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia. Dengan ekspansi LNG, Indonesia diarahkan untuk tetap menjadi eksportir gas bagi negara maju, bukan untuk memenuhi kebutuhan daya domestik. Ini bukan kedaulatan energi, tetapi pemanfaatan ekonomi nan dikemas dalam retorika transisi energi,” jelas Diana Gultom dari debtWatch Indonesia dilansir dari keterangan resmi, Sabtu (15/3). 

Pemerintah terus berencana untuk mengembangkan prasarana gas sejak gas cair kali pertama digunakan di Indonesia pada 1960-an, apalagi saat ini pemerintah mempromosikan penggunaan gas sebagai upaya transisi energi. 

Pemerintah mencanangkan pengintegrasian gas sebagai bagian transisi daya dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) nan pemanfaatannya dalam bauran daya primer bakal terus meningkat hingga 2060. 

“Dalam forum internasional pemerintah memoles gambaran dengan menyatakan bakal mengurangi ketergantungan pada daya fosil, namun dalam kebijakan nasional pemerintah justru memasukkan gas dalam kerangka kebijakan transisi daya sebagai ‘jembatan transisi’ nan bakal membawa kita semakin jauh dari sasaran pencapaian penurunan emisi,” ujar Novita, ahli kampanye daya fosil Trend Asia.  

Hal tersebut berpotensi mencekal upaya dekarbonisasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Apalagi emisi metana dari pembakaran bahan bakar fosil bertanggung jawab sekitar 30 persen atas naiknya temperatur dunia sejak revolusi industri. 

SKK Migas mencatat Indonesia mempunyai persediaan gas terbukti sebesar 54,76 Trilliun Standard Cubic Feet (TSCF). 

Laporan berjudul “Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim” mencatat ada 18 proyek gas dengan beragam tahapan operasional nan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua serta beberapa proyek PLTG. Berikut beberapa proyek gas LNG dengan perkiraan investasinya: 

1. Proyek Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat nan dioperasikan oleh British Petroleum (BP) Indonesia menerima investasi dari ADB, JBIC, dan IFC dengan perkiraan investasi sekitar 8 miliar USD. Tangguh LNG merupakan proyek LNG terbesar di Indonesia nan memproduksi dan mengekspor gas cair. 

2. Bontang LNG di Kalimantan Timur, dioperasikan oleh Pertamina, menerima biaya dari ADB, HSBC dengan perkiraan investasi 4 miliar USD. Proyek ini merupakan salah satu akomodasi pengolahan LNG terbesar di dunia.

3. Proyek LNG Abadi (Blok Masela) di Laut Arafura, Maluku oleh Inpex Corporation mempunyai perkiraan investasi 19,8 miliar USD dari JBIC dan KEXIM. Proyek ini tetap dalam tahap perencanaan dan perizinan. Blok Masela merupakah salah satu proyek gas alam terbesar di Indonesia dengan akomodasi LNG darat. 

4. PLTG Arun di Aceh dan Bangkanai, Kalimantang Tengah nan dikelola PLN menerima biaya pembangunan proyek dari Bank Standard Chartered senilai 160 juta Euro alias setara Rp2,6 triliun. 

Kapasitas masing-masing PLTG sebesar 184 MW dan 155 MW. Masing-masing menggunakan 19 mesin dan 16 mesin berbahan bakar LNG. 

“Jika pemerintah tetap membuka ruang untuk terus mengeksploitasi gas maka trajektori pelepasan emisi bakal semakin melonjak hingga dasawarsa mendatang. Selain itu bakal menyisakan sedikit ruang daya terbarukan berkembang”, tegas Novita. 

Emisi metana sepanjang rantai pasok penggunaan gas menjadi paradoks dengan komitmen beberapa bank tersebut nan sempat menyatakan bakal menyelaraskan Perjanjian Paris dalam pendanaan proyek daya untuk membantu negara ketiga, seperti Indonesia. 

WBG menargetkan penyelarasan 100 persen pada operasi barunya per 1 Juli 2023. Anak upaya dari WBG, IFC dan MIGA, masing-masing menargetkan penyelarasan 85 persen pada operasi barunya per 1 Juli 2023 dan 100 persen untuk operasi barunya pada 1 Juli 2025. 

ADB menargetkan penyelarasan penuh untuk pendanaan publik pada 1 Juli 2023 dan 85 persen untuk penyelarasan pendanaan privat 1 Juli 2023. AIIB menyatakan penyelarasan pendanaan secara penuh pada pertengahan Juli 2023. 

Kebutuhan biaya nan besar untuk pengembangan prasarana gas kerap diiringi akibat buruk, seperti korupsi dan inefisiensi tata kelola dalam pembangunan proyek, sengketa geopolitik, pelanggaran HAM di wilayah eksplorasi, dan pencemaran lingkungan nan merugikan ekosistem maupun masyarakat setempat. 

Nilai investasi miliaran dolar untuk proyek gas juga membuka celah praktik korupsi nan besar. Sebelumnya, KPK sempat menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan LNG pada periode 2011-2021. 

Alih-alih mengalirkan biaya untuk proyek daya nan mengunci Indonesia pada penggunaan daya kotor, biaya tersebut dapat ditujukan untuk pengembangan proyek berbasis daya terbarukan. 

“Indonesia adalah negara nan kaya dengan potensi daya bersih dan terbarukan. Air, matahari, angin, laut, dll adalah sumber nan tidak bakal lenyap dijadikan sumber energi. Kita kudu berani keluar dari skema pengadaan daya fosil dan berorientasi upaya dan mega-proyek semata. Pengelolaan daya nan berorientasi pada kebutuhan penduduk dan kelestarian lingkungan hidup krusial dan genting untuk dilakukan saat ini,” tegas Diana. (H-2)

Selengkapnya