ARTICLE AD BOX

KETUA Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun memandang Indonesia perlu membentuk lembaga Mahkamah Medik alias Pengadilan Medik. Lembaga ini krusial untuk mengakomodir kasus-kasus hukum nan menimpa pekerjaan dokter dan tenaga medis lainnya.
Hal tersebut disampaikan Prof Gayus usai memimpin Sidang Terbuka Promosi Doktor atas nama Fransisren di kampus Unkris, Senin (24/2).
Fransisren nan berlatar belakang pekerjaan master sukses mempertahankan disertasinya nan berjudul Panduan Praktik Klinis sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Kelalaian Medis. Dia berkuasa menyandang gelar ahli bagian norma kesehatan dengan predikat cum laude.
“Ini adalah kali pertama Unkris melahirkan seorang ahli nan berlatar belakang pekerjaan master dengan kajian pengetahuan norma kesehatan,” ujar Prof Gayus.
MI/HO--Sidang Terbuka Promosi Doktor atas nama Fransisren di kampus Unkris, Senin (24/2).
Ia berambisi ke depan bakal banyak dokter-dokter nan menempuh dan menyelesaikan gelar ahli norma kesehatan di kampus Unkris. Pasalnya, Unkris, sejak dulu, memang mempunyai kelebihan di bagian pengetahuan hukum.
Disertasi nan disampaikan promovenda tersebut diakui Prof Gayus membuka mata dan kesadaran kita semua bakal pentingnya lembaga pengadilan unik bagi pekerjaan dokter. Mengingat dalam pekerjaannya, sesungguhnya master tidak bisa disamakan dengan pekerjaan lain.
“Dokter dan paramedis mestinya mendapat corak keadilan tersendiri. Mereka tidak bisa lecture general berupa KUHP. Karena tidak ada master nan dalam praktik profesinya beriktikad mencelakakan pasiennya,” lanjut Prof Gayus.
Menurut Prof Gayus, dalam praktik profesi, seorang master memang tidak bisa terlepas dari kesalahan. Baik itu sifatnya ringan, sedang, hingga berat berupa abnormal seumur hidup apalagi kematian.
Sementara itu, dalam disertasinya, Fransisren menjelaskan dalam menjalankan profesinya, master acap kali dihadapkan pada kasus kelalaian medis, ialah kegagalan master dalam memberikan standar perawatan hingga mengakibatkan kerugian pada pasien.
Perbedaan konsep kelalaian pada KUHP dan lex ahli UU nomer 17 Tahun 2023 ialah pada legal standing dasar pembuktian kelalaian medis.
Pada pasal 359 dan 360 KUHP tidak melibatkan PPK (panduan praktik klinis). Pada pasal 280 ayat (2) jo pasal 291 ayat (1) UU No 17 Tahun 2023 dijelaskan bahwa untuk menghindari akibat nan dapat merugikan tenaga medis, dan rumah sakit maka pelayanan kudu dijalankan sebagai corak upaya terbaik, nan sesuai dengan norma, standar pelayanan, standar pekerjaan dan kebutuhan pasien.
“Pembuktian ada tidaknya kelalaian nan dilakukan oleh dokter, perlu menghadirkan PPK dan rekam medis,” katanya.
Menurutnya, banyak kasus-kasus pidana maupun perdata di pengadilan dalam perihal pembuktiannya, pengadil telah mengesampingkan PPK sebagai bukti surat.
Permasalahannya adalah gimana PPK dapat dijadikan perangkat bukti dalam kasus kelalaian medis, gimana pertimbangan norma nan diterapkan pengadil dalam memutuskan dugaan kelalaian medis dan gimana pengadil menggunakan PPK dalam menetapkan keputusan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian kelalaian medis di rumah sakit dapat menggunakan PPK sebagai perangkat bukti jika memenuhi syarat norma formil dan materiil.
Syarat formil ialah jika PPK sesuai Perundang-undangan dan syarat materiil ialah jika PPK disusun sesuai keilmuan ialah pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
Syarat pembuktian kelalaian medis menurut UU No 17 Tahun 2023 ialah kudu memenuhi tanggungjawab hukum, pelanggaran terhadap kewajiban, cedera dan kausalitas.
Putusan Hakim berasas atas pemisah minimum pembuktian nan merujuk pada pasal 184 KUHAP dimana masing-masing perangkat bukti dikaitkan dengan peran PPK ditambah kepercayaan pengadil nan merujuk pada pasal 183 KUHAP dimana system pembuktian menurut UU secara negatif. (Z-1)