ARTICLE AD BOX

UTANG pemerintah makin mencemaskan. Pada awal 2025 ini, total utang pemerintah pusat membengkak menjadi Rp8.909,14 triliun. Angka itu setara dengan 40,2% produk domestik bruto (PDB).
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan melaporkan, total utang pemerintah pusat per 31 Januari 2025 naik sebesar 1,21% jika dibandingkan dengan posisi Desember 2024 nan tercatat sebesar Rp8.801,09 triliun. Jika dibandingkan dengan kondisi akhir 2023, utang pemerintah apalagi mengalami kenaikan sebesar 8,07% dari posisi Rp8.190,38 triliun.
Dari segi komposisi, saat ini utang pemerintah sebagian besar didominasi dalam corak surat berbobot negara (SBN). Itu adalah strategi peminjaman biaya nan sengaja dikembangkan pemerintah dengan bertumpu pada publikasi obligasi dalam negeri, untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Selama ini utang pemerintah, selain dalam corak SBN, ada dalam corak pinjaman dalam negeri dan utang luar negeri.
Pinjaman luar negeri saat ini tercatat sebesar Rp1.040,68 triliun. Sementara itu, dalam corak pinjaman dalam negeri sebesar Rp51,23 triliun dan dalam corak surat berbobot negara sebesar Rp7.817,23 triliun. Utang pemerintah dalam denominasi rupiah sebesar Rp6.280,12 triliun, sedangkan nan berdenominasi kurs asing sebesar Rp1.537,11 triliun. Jika dibandingkan dengan utang dalam negeri, jumlah utang luar negeri memang hanya Rp1.040,68 triliun. Namun, ketika utang luar negeri itu jatuh tempo, tentu perihal itu bakal menjadi beban tersendiri bagi pemerintah.
AMBANG BATAS
Kalau berbincang normatif, utang pemerintah hingga 40,2% dari PDB memang tetap tergolong aman. Rasio itu tetap berada dalam pemisah kondusif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara nan membatasi rasio utang maksimal 60% dari PDB. Bahkan, ada mahir nan beranggapan rasio utang pemerintah nan kondusif asal tidak lebih dari 70% dari PDB.
Selama ini, pemerintah telah berupaya mencegah agar periode pemisah utang tidak melewati pemisah aman. Berbagai kebijakan, seperti optimasi penerimaan negara melalui reformasi perpajakan, peningkatan efisiensi shopping di beragam aspek, serta pemanfaatan utang untuk pembiayaan nan produktif terus dikembangkan agar pemanfaatan utang betul-betul optimal.
Dengan menjaga agar defisit anggaran tidak terus melebar, pemerintah berambisi dapat menurunkan ketergantungan terhadap pembiayaan utang. Selain itu, menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nan tinggi terus dilakukan pemerintah untuk menekan rasio utang, lantaran peningkatan PDB bakal membikin utang lebih terkendali secara proporsional.
Pertanyaannya sekarang: apakah langkah-langkah nan dikembangkan pemerintah memperlihatkan hasil seperti nan diharapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu waktu nan bakal membuktikannya. Namun, secara objektif kudu diakui bahwa tanda-tanda awal tentang performa perekonomian Indonesia tidaklah begitu menggembirakan.
Berbeda dengan kebiasaan menjelang Hari Raya Idul Fitri konsumsi masyarakat meningkat, saat ini nan terjadi justru sebaliknya. Daya beli masyarakat dilaporkan justru menurun. PHK nan terjadi di beragam wilayah dan kondisi upaya nan kerap kali kehilangan pembeli menyebabkan situasi pasar menjadi loyo. Alih-alih ramai menerima order alias pemesanan, tidak sedikit pelaku ekonomi nan kehilangan pengguna mereka. Masyarakat sekarang lebih condong mengembangkan style hidup irit dan lebih memilih menabung untuk berhati-hati menghadapi tekanan krisis. Di beragam daerah, tidak sedikit upaya terpaksa gulung tikar.
Dalam satu-dua tahun terakhir, kondisi ekonomi nasional, diakui alias tidak, sedang tidak baik-baik saja. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dilaporkan pada posisi terburuk sejak Maret 2020. Kurs rupiah saat ini berada di posisi 16.596/US$, alias di sekitarnya. Itu adalah nilai tukar nan terendah dalam lima tahun terakhir. Pelemahan nilai tukar rupiah itu diprediksi belum beringsut membaik lantaran kondisi pasar dunia dan kebijakan politik Donald Trump nan menguncang pasar lantaran ketidakpeduliannya pada kepentingan negara lain.
Sementara itu, kondisi pasar finansial dalam negeri juga dilaporkan sedang terancam di sepanjang Februari 2025 lalu. Indeks nilai saham campuran (IHSG) di perdagangan BEI rontok ke level terendah sejak kejatuhan terakhir pada saat pandemi covid-19. Tidak sedikit penanammodal asing nan menarik modal mereka dan keluar dari Indonesia. Sebelumnya kapitalisasi pasar bursa tetap senilai Rp11.786 triliun, tetapi akhir pekan lampau kapitalisasi di pasar bursa terus tergerus dan tinggal menyisakan Rp10.880 triliun.
ALARM
Indonesia saat ini memang belum betul-betul kolaps. Berbagai upaya terus dikembangkan pemerintah agar akibat utang nan terlalu banyak tidak berakibat jelek terhadap perekonomian Indonesia. Jumlah utang nan terlalu besar tidak hanya mengakibatkan beban dan tekanan nan menjejas, tetapi juga bakal berisiko mengurangi keahlian negara untuk membiayai program-program pembangunan. Utang pemerintah nan terlalu banyak dapat mengakibatkan keterbatasan sumber daya untuk membiayai program-program pembangunan sehingga menghalang pertumbuhan ekonomi.
Untuk mencegah agar utang pemerintah nan meningkat tidak menimbulkan akibat nan kontraproduktif, pemerintah tidak saja kudu meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga kudu melakukan efisiensi.
Pemerintah kudu mengurangi pos-pos shopping nan tidak perlu, serta sebaliknya mengoptimalnya pembelanjaan untuk memastikan shopping nan dilakukan betul-betul efektif dan efisien. Sudah peralatan tentu, efisiensi nan dilakukan betul-betul kudu terukur dan didasari argumen nan rasional. Efisiensi tidak bisa dilakukan dengan langkah menghomogenisasi pemotongan anggaran dan apalagi membiarkan lembaga-lembaga tertentu tidak dilakukan efisiensi lantaran pertimbangan nan tidak transparan.
Dari sisi keahlian perekonomian, pemerintah perlu mendorong agar para pelaku ekonomi di Tanah Air meningkatkan ekspor untuk meningkatkan pendapatan negara. Di samping itu, nan tak kalah krusial adalah pemerintah kudu mendorong peningkatan investasi untuk meningkatkan pendapatan negara, serta meningkatkan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
Saat ini, antara impor dan ekspor secara objektif kudu diakui tetap belum seperti nan diharapkan. Jika dibandingkan dengan ekspor, jumlah impor justru lebih besar sehingga pemasukan devisa negara justru berkurang. Sektor manufaktur di Indonesia nan banyak memerlukan bahan baku impor tidak banyak diharapkan lantaran kenaikan nilai tukar dolar AS. Akibatnya, jika tetap memaksa impor bahan baku, nilai jual komoditas nan mereka hasilkan menjadi lebih mahal.
Dalam menghadapi dilema seperti itu, nan tersedia tentu bukan pilihan nan mudah bagi para pelaku ekonomi di Tanah Air. Ketika situasi pasar dunia tetap belum menentu, tidak mungkin pelaku ekonomi nasional tetap berkeras untuk mengembangkan aktivitas produksi seperti biasanya. Permintaan pasar dunia nan sedang meredup, sigap alias lambat, bakal memengaruhi keahlian para pelaku usaha. Pada titik itu, bisa dipahami jika masyarakat Indonesia tetap waswas dengan masa depan mereka. Pemerintah nan gagap merespons sirine resesi bukan tidak mungkin malah bakal memperburuk keadaan.