Penelitian Ungkap Lockdown Covid Berdampak Pada Mental Kaum Muda Jerman

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Lena, nan berumur 21 tahun dan meminta agar nama aslinya tidak disebutkan, ragu untuk berbincang tentang pembatasan lockdown Jerman selama pandemi COVID-19. Seperti banyak orang seusianya, dia tidak mau diingatkan tentang masa-masa itu.

Dia saat ini belajar di Jerman selatan. Dia selalu mau menjadi guru. Tapi sekarang tidak lagi, katanya kepada DW. Dia adalah siswa nan baik saat itu, ketika dia tetap menikmati sekolah — sebelum pandemi.

"Masa itu betul-betul mencuri hidup kami. Kami tidak bisa berjumpa teman-teman. Semua orang hanya terpaku pada ponsel mereka," kata Lena alih-alih bermain voli seperti sebelumnya, nan bisa dia lakukan hanyalah 'menonton serial secara maraton'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian memang ada pengajaran jarak jauh, tetapi pelajarannya membikin stres. "Sekolah bukan hanya tentang belajar. Tidak ada nan peduli dengan kami! Kami betul-betul tidak berdaya," kata Lena.

Sejak saat itu, dia telah melewati masa-masa nan membikin frustrasi dalam hidupnya. Beberapa mantan kawan sekelas dan kenalannya apalagi menjadi sedikit 'aneh alias merasa ketakutan'.

Isolasi, kesepian, dan ketidakberdayaan

Sebagian besar orang dewasa muda mengalami penutupan mengenai COVID-19 dengan langkah nan sama seperti Lena. "Temuan ini didukung oleh studi jangka panjang," kata Ketua Asosiasi Perlindungan Anak di Jerman alias Kinderschutzbund, Sabine Andresen.

Ia menceritakan banyak anak muda mengeluh kekhawatiran mereka diabaikan. Dia mengatakan anak muda merasa tidak didengar saat pandemi.

"Kami tidak terlihat, kami tidak didengar. Kepentingan, hak, dan kebutuhan kami tidak diprioritaskan dalam keputusan nan sulit," ujarnya menirukan apa nan banyak dikeluhkan anak muda.

Andresen juga termasuk tim mahir dalam studi remaja dan kaum muda. Dia mengatakan banyak anak muda merasa kesenyapan dan tak berdaya.

"Ini tentang emosi kesenyapan dan ketidakberdayaan, dan pengalaman tiba-tiba disingkirkan dari kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui, 'Apa nan sedang diambil dariku? Bagaimana saya bisa membentuk masa depanku?' Kaum muda juga peduli dengan rencana masa depan mereka," kata Andresen.

Antropolog di Universitas Comenius di Bratislava, Darina Falbov, juga melakukan penelitian terhadap remaja Slovakia untuk mengidentifikasi akibat bentuk dan kesehatan mental jangka panjang nan paling umum dari karantina wilayah.

"Menurut penelitian tersebut, penutupan sekolah, pembatasan kontak, dan jam malam berkontribusi signifikan terhadap peningkatan masalah psikologis di kalangan kaum muda," jelasnya.

"Gejala jangka panjang nan paling umum meliputi kelemahan ingatan, masalah konsentrasi, kesulitan memecahkan masalah, dan kesulitan menemukan kata nan tepat."

Pelajaran untuk pandemi berikutnya

Penelitian lain menunjukkan, banyak remaja tetap menderita gangguan makan, kecemasan, dan depresi lima tahun setelah karantina wilayah.

"Pandemi COVID-19 telah menunjukkan kepada kita bahwa meskipun melindungi kesehatan masyarakat itu penting, akibat jangka panjang bagi generasi muda sering kali diabaikan. Salah satu pelajaran terpenting adalah bahwa kesehatan mental kudu sama pentingnya dengan kesehatan fisik," kata Falbov.

Jika pandemi lain terjadi lantaran zoonosis rawan alias flu burung, maka masyarakat dan politisi kudu mengangkat pendekatan nan lebih seimbang dan penuh pertimbangan untuk anak-anak dan remaja.

"Dalam krisis kesehatan di masa mendatang, kreator kebijakan kudu menemukan langkah untuk memungkinkan kontak sosial nan kondusif — baik melalui aktivitas luar ruangan, golongan pendukung, alias program organisasi nan terstruktur dengan cermat," ujarnya.

Diadaptasi dari tulisan DW bahasa Jerman

(haf/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Selengkapnya