Pakar Ugm Ungkap Pentingnya Lima Pilar Sistem Mitigasi Risiko Di Gunung Rinjani

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX
Pakar UGM Ungkap Pentingnya Lima Pilar Sistem Mitigasi Risiko di Gunung Rinjani Sejumlah visitor melangkah di area wisata bukit Selong di Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB.(Antara)

GUNUNG Rinjani menjadi salah satu lokasi wisata nan digemari visitor lantaran keelokan alamnya. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kecelakaan pendaki asal mancanegara saat mendaki Gunung Rinjani lebih sering muncul di media.

Sebagai bagian dari refleksi, Guru Besar Fakultas Geografi sekaligus Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Baiquni, menyampaikan lima pilar krusial dalam membangun sistem mitigasi akibat wisata gunung, terutama di Gunung Rinjani. Pilar pertama adalah pengelompokkan pendaki berasas tingkat pengalaman dan pelatihan. 

Pengelola kudu bisa membedakan mana pendaki pemula, nan sudah mengikuti training dasar, dan nan profesional. “Kalau bisa, sistem ini dibuat transparan sejak awal. Kalau dia pemula, maka wajib pakai guide dan membawa perlengkapan standar. Kalau sudah berilmu pun, sebaiknya tetap tidak mendaki sendirian,” ujarnya.

Kedua, dia menekankan pentingnya pengendalian jumlah visitor nan masuk jalur pendakian. Jalur-jalur ekstrem dengan medan sempit tidak boleh dilalui secara massal agar tidak menambah tekanan pada ekosistem maupun meningkatkan akibat kecelakaan. 

Pilar ketiga adalah pemetaan dan promosi destinasi vulkanoturisme alternatif. Dengan mendistribusikan kunjungan ke gunung-gunung lain di Indonesia nan mempunyai daya tarik serupa, tekanan terhadap Rinjani bisa dikurangi. 

Selanjutnya, Baiquni menyoroti pentingnya info nan transparan, baik mengenai kondisi cuaca, tarif jasa porter dan guide, hingga info teknis tentang jalur. “Wisatawan tidak boleh membeli ilusi, mereka kudu datang dengan ekspektasi dan kesiapan nan benar,” katanya.

Terakhir, dia menekankan urgensi sistem tanggap darurat nan terintegrasi, mulai dari koordinasi tim penyelamat hingga sarana komunikasi dan jalur evakuasi. Kecepatan respons dan kesiapsiagaan di lapangan menjadi kunci dalam meminimalkan akibat jika kejadian terjadi. Baiquni juga mendorong agar sistem ini didukung secara institusional, tidak hanya berjuntai pada inisiatif lokal alias relawan semata. 

Kelima pilar ini, menurutnya, menjadi pondasi bagi pariwisata alam nan bukan hanya indah, tetapi juga kondusif dan berkelanjutan. “Risiko tidak bakal hilang, tapi bisa dikendalikan dengan perencanaan nan matang dan kebijakan nan berpihak pada keselamatan,” terang dia.

TOPOGRAFI RINJANI
Baiquni menyampaikan bahwa Gunung Rinjani mempunyai karakter topografi nan tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan pengalaman pribadinya mendaki Rinjani pada 1983, dia menjelaskan bahwa medan nan terbentuk dari aktivitas vulkanik menghasilkan tebing curam, kaldera tajam, dan paparan gas sulfur nan berisiko tinggi bagi pendaki pemula. 

“Gunung Rinjani terbentuk dari intrusi magma nan mengangkat Pulau Lombok. Kaldera nan curam, tebing-tebing tajam, serta keberadaan waduk Segara Anak membuatnya berbeda dari pegunungan non-vulkanik seperti Alpen alias Andes,” ungkapnya, Kamis (17/7).

Bagi Baiquni, akibat pendakian bukan semata berasal dari kondisi bentuk gunung, tetapi juga ketidaksiapan psikologis dan kurangnya edukasi bagi wisatawan. "Banyak pendaki nan menganggap medan Rinjani sama dengan gunung-gunung terkenal lainnya. Padahal medan vulkanik mempunyai potensi ancaman berbeda," ungkap dia.

Tanpa pemahaman nan cukup, reaksi tubuh terhadap lingkungan ekstrem dapat menyebabkan keputusan nan keliru dan membahayakan. “Wisatawan nan belum terbiasa dengan karakter gunung vulkanik bisa linglung apalagi fatamorgana ketika terpapar sulfur alias saat berada di ketinggian dengan oksigen tipis,” tambahnya.

Pendakian menurut Baiquni bukan hanya soal kekuatan bentuk melainkan keahlian mengelola ego dan emosi. Ia juga menyoroti pentingnya pembinaan mental dan kesadaran diri lantaran pendakian bukan soal menaklukkan alam tetapi lebih kepada mengelola gairah dan batas.

Dalam konteks ini, pendakian menjadi ruang kontemplatif nan menantang pelakunya untuk mengenali dirinya sendiri. Tanpa pengendalian diri, kemauan mencapai puncak bisa berubah menjadi sikap nekat nan justru membawa akibat fatal. "Saya selalu ingat quote dari Reinhold Messner, it’s not the mountain we conquer, but ourselves,” ucap Baiquni.

BUKA TUTUP JALUR
Lebih lanjut, Baiquni menjelaskan, dalam manajemen destinasi, Rinjani sebenarnya telah menerapkan sistem buka-tutup jalur berasas musim. Penutupan jalur saat musim hujan merupakan strategi konservasi sekaligus pencegahan kecelakaan akibat cuaca ekstrem. 

Namun demikian, dia mencatat tetap adanya visitor nan nekat melanggar patokan ini apalagi menyusup masuk jalur pendakian nan belum dibuka resmi. “Biasanya Januari hingga Maret ditutup. Ini bagian dari strategi visitor management nan sangat penting, agar unsur alam bisa pulih dan pendaki bisa merencanakan kunjungan dengan aman,” ujarnya.

Teknologi, menurut Baiquni, telah membantu sistem navigasi dan info spasial, namun tidak menggantikan pentingnya pengalaman dan hatikecil lapangan. 

Penggunaan peta digital alias aplikasi cuaca perlu didukung dengan training dasar survival dan etika tim. Ia mendorong agar training dasar seperti diklatsar, tali-temali, dan pembacaan medan dijadikan prasyarat pendakian, terutama bagi visitor asing nan belum familiar dengan ekosistem gunung Indonesia. “Beda alat, beda naluri. Kadang orang terlalu konsentrasi pada puncak sampai lupa diri,” tuturnya.

Dalam menghadapi perubahan iklim, sistem mitigasi perlu lebih adaptif dan prediktif. Baiquni mengingatkan bahwa membaca tanda-tanda alam tidak hanya berjuntai pada teknologi, tetapi juga pada pemahaman lokal dan intuisi alami. (E-2)

Selengkapnya