ARTICLE AD BOX
Liputan6.com, Jakarta - Retret kepala daerah menjadi sorotan. Pemerintah menilai, aktivitas tersebut krusial untuk menyatukan visi misi antara wilayah dan pusat saat nantinya mereka memimpin wilayah masing-masing. Sementara itu, sebagian publik tetap memandang perihal tersebut menjadi corak pemborosan di tengah kebijakan efisiensi.
Menanggapi perihal itu, Pengamat Politik Airlangga Pribadi Kusman menilai urgensi dari aktivitas tersebut hasilnya pun susah diukur. Menurut dia, berkaca dari aktivitas serupa terhadap para menteri Kabinet Merah-Putih hasilnya dalam 100 hari kerja nyatanya tidak juga memperlihatkan sebuah kekompakan.
"Karena memang model-model pengarahan seperti retret tidak bakal membawa hasil nan baik, terlebih ketika pemerintahan sarat dengan beragam kepentingan politik untuk merebut sumber daya nan tangible, tidak berasas good governance dan menjunjung tinggi supremasi hukum," kata Airlangga seperti dikutip dari keterangan tertulis diterima, Selasa (25/2/2025).
Pengajar Departemen Politik FISIP Univesitas Airlangga ini menjelaskan, contoh kasus pagar laut menjadi salah satu bukti adanya perbedaan pernyataan antara Menteri ATR/BPN dan Menteri Kelautan Perikanan. Contoh lainnya, adalah kebijakan Menteri ESDM soal gas 3KG nan apalagi kudu diralat dengan menyebut bahwa itu bukan kebijakan Presiden.
"Jika tujuan dari retret adalah memberikan pembekalan, maka secara rutin para kepala wilayah pun sudah mendapatkan perihal itu dari Lemhanas sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)," jelas Pengajar Departemen Politik Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.