Pakar Kritik Ruu Tni-polri-kejaksaan: Jangan Ada Kewenangan Menumpuk Di 1 Lembaga

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) berbareng Koalisi Masyarakat Sipil memberikan kritik tajam mengenai revisi undang-undang (RUU) TNI, Polri, hingga Kejaksaan. RUU tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan abuse of power.

Kritikan itu disampaikan dalam obrolan publik bertema "Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan: Kritik RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan" nan digelar di Gedung C FH UB, Jumat (28/2/2025). Adapun narasumber dalam obrolan ini ialah Dosen FH UB M Ali Safa'at, Peneliti Senior Imparsial & Ketua Centra Initiative Al Araf, Mantan Pimpinan KPK 2015-2019 Saut Situmorang, serta Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia/PBHI Nasional Julius Ibrani.

Para narasumber sepakat bahwa ketiga RUU tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan melemahkan sistem norma nan ada. Dekan FH UB Aan Eko Widiarto menegaskan bahwa revisi tiga undang-undang ini berangkaian erat dengan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), nan menjadi fondasi sistem peradilan di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menyoroti adanya perubahan mendasar dalam sistem penyelidikan dan penyidikan, termasuk potensi penghapusan tahap penyelidikan nan dapat berimplikasi besar terhadap proses hukum.

"Sebagai akademisi hukum, kita kudu memberikan pandangan kritis dan objektif. Jangan sampai revisi ini justru memperbesar kewenangan tanpa keseimbangan pengawasan. Kita kudu memastikan bahwa perlindungan kewenangan masyarakat tetap menjadi prioritas," ujar Aan dikutip laman hukum.ub.ac.id, Sabtu (15/3/2025).

Sementara, Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengingatkan bahwa Indonesia telah mengalami gelombang overkriminalisasi sejak revisi KUHP 2023. Menurutnya, RUU Polri, TNI, dan Kejaksaan berisiko memperburuk keadaan dengan memberikan kewenangan berlebihan kepada abdi negara penegak norma tanpa sistem kontrol nan memadai.

"Dua tahun lampau kita memandang gimana revisi KUHP 2023 justru memidanakan banyak perihal nan semestinya bukan tindak pidana, sementara kasus-kasus nan melibatkan korporasi malah didekriminalisasi. Sekarang, dengan ketiga RUU ini, ancaman overkriminalisasi semakin nyata," tegas Julius.

Julius pun menyoroti beberapa poin kontroversial dalam rancangan izin tersebut, termasuk peran militer dalam ranah sipil, kewenangan jaksa dalam penyadapan dan prakondisi penuntutan, serta sistem prosecutor-centric nan dapat menggeser keseimbangan peran interogator kepolisian.

"Kita kudu menghindari konsentrasi kekuasaan di satu lembaga tanpa pengawasan nan jelas. Jika dibiarkan, masyarakat sipil bisa semakin terpinggirkan dalam sistem norma nan tidak berimbang," tambahnya.

Lalu, Mantan Pimpinan KPK 2015-2019 Saut Situmorang secara tegas menilai bahwa ketiga RUU ini bukan solusi bagi ketidakpastian norma di Indonesia. Melainkan justru menambah kompleksitas dan meningkatkan potensi penyalahgunaan wewenang.

"Ketidakpastian norma saat ini tetap sangat tinggi. Kalau kita menambah izin tanpa memastikan efektivitas patokan nan ada, maka nan terjadi justru kekacauan norma nan lebih parah," ujar Saut.

Ia juga mengkritik tren perubahan undang-undang di Indonesia nan sering kali tidak diiringi dengan kajian akademik mendalam. Sebagai contoh, dia menyebut revisi Undang-Undang KPK nan malah melemahkan lembaga tersebut serta Undang-Undang Cipta Kerja nan tidak sukses memenuhi sasaran pembuatan lapangan kerja.

"Kita sudah memandang gimana izin nan dibuat tanpa kalkulasi matang malah berujung pada kegagalan implementasi. Kalau tiga RUU ini tidak dikaji ulang, saya cemas kita bakal menghadapi masalah norma nan lebih besar," ungkapnya.

Selain itu, Saut juga menyoroti potensi penyalahgunaan intelijen nan diatur dalam ketiga RUU tersebut. Menurutnya, jika tidak diatur dengan baik, kewenangan penyadapan dan intelijen bisa berujung pada praktik pengawasan nan berlebihan terhadap masyarakat.

"Intelijen semestinya bertanggung jawab untuk keamanan negara, bukan perangkat untuk mengawasi masyarakat sipil tanpa dasar nan jelas. Jika pengawasan terhadap kewenangan ini tidak diperkuat, maka penyalahgunaan kekuasaan tinggal menunggu waktu," ujarnya.

Diskusi ini ditutup dengan angan agar DPR dan pemerintah lebih berhati-hati dalam merancang izin nan berakibat besar pada sistem norma nasional. FH UB berbareng Koalisi Masyarakat Sipil mendorong agar revisi RUU Polri, TNI, dan Kejaksaan dilakukan dengan transparan dan melibatkan akademisi serta master norma secara mendalam.

"Kami berambisi DPR dan Presiden betul-betul mempertimbangkan kepentingan publik dalam membahas RUU ini. Jangan sampai ada kewenangan nan menumpuk di satu lembaga hingga berisiko menimbulkan penyalahgunaan wewenang," ujar Aan menutup diskusi.

(eva/idh)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Selengkapnya