Efisiensi Anggaran, Keberlanjutan Fiskal, Dan Perekonomian Daerah

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Dalam rapat kerja perdana Kabinet Merah Putih, 23 Oktober 2024, setelah dilantik tiga hari sebelumnya menjadi Presiden RI, Prabowo Subianto menekankan tentang pentingnya berhemat, mengurangi kebocoran anggaran, memastikan anggaran digunakan secara efisien dan mengurangi pengeluaran nan tidak produktif demi kepentingan rakyat.

Presiden Prabowo kembali menegaskan perihal tersebut saat penyerahan secara digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) 2025 serta Peluncuran Katalog Elektronik Versi 6.0 di Istana Negara Jakarta, 10 Desember 2024. Dalam aktivitas ini, Presiden Prabowo 'melarang' kegiatan-kegiatan nan sifatnya seremonial dan menekankan untuk lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat, ketahanan pangan, ketahanan daya dan program kampanye makan gratis.

Namun di kembali urgensi kebijakan ini muncul pertanyaan besar apakah efisiensi anggaran betul-betul bakal meningkatkan kesejahteraan rakyat alias justru menimbulkan akibat negatif bagi tata kelola pemerintahan daerah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tekanan Fiskal

Postur shopping APBN 2025 nan mencapai Rp 3.621 triliun, meskipun sedikit meningkat dibandingkan dengan 2024, tetap menghadapi tekanan fiskal akibat pembayaran kembang utang sebesar Rp 552 Triliun, penambahan Kementerian/Lembaga (K/L), dan meningkatnya kebutuhan shopping prioritas seperti program Makan Bergizi Gratis. Pemerintah berencana menghemat hingga Rp 306,69 triliun termasuk pemotongan shopping operasional sebesar Rp 256,1 triliun pada K/L, dan Rp 50,59 triliun pada Transfer ke Daerah (TKD). Meski terlihat strategis namun kebijakan ini mempunyai beragam implikasi serius nan perlu dipertimbangkan.

Pasca diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2025, per 22 Januari 2025 pemerintah menargetkan efisiensi anggaran hingga Rp 306,69 triliun dengan rincian anggaran K/L sebesar Rp256,1 triliun dan TKD sebesar Rp 50,59 triliun. Lebih lanjut Kementerian Keuangan mengeluarkan Surat Edaran No. S-37/MK.02/2025 sebagai petunjuk teknis tentang 16 jenis shopping operasional nan wajib dipangkas.

Untuk TKD, penghematan Rp 50,59 triliun mencakup Dana Bagi Hasil sebesar Rp 13,90 triliun, DAU Bidang Pekerjaan Umum sebesar Rp 15,67 triliun, DAK Fisik sebesar Rp 18,30 triliun, Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 509,45 miliar, Dana Keistimewaan Yogyakarta sebesar Rp 200 miliar, dan Dana Desa sebesar Rp 2 triliun.

Lebih lanjut penekanan efisiensi APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota ialah para Kepala Daerah kudu melakukan efisiensi dengan mengurangi shopping perjalanan dinas sebesar 50%; membatasi shopping honorarium seperti mengurangi jumlah tim dan menyesuaikan honor sesuai standar nilai satuan regional; membatasi shopping untuk aktivitas tidak prioritas seperti aktivitas seremonial, kajian dan studi banding, pencetakan dan publikasi serta seminar dan Focus Group Discussion (FGD); mengurangi shopping nan tidak mempunyai output terukur; konsentrasi anggaran pada keahlian pelayanan publik bukan berasas pemerataan antar-perangkat daerah; serta lebih selektif dalam pemberian hibah langsung.

Pemangkasan ini berpotensi menekan ruang mobilitas pemerintah wilayah dalam pembangunan dan pelayanan publik. Pertanyaannya, apakah semua pemotongan ini sudah mempertimbangkan akibat langsung terhadap masyarakat?

Banyak tantangan bakal dialami Tim Anggaran Pemerintah Daerah nan telah memutuskan program prioritas skala 1 (utama) terdahulu di tengah keterbatasan fiskal namun kudu kembali melakukan review dan telaah seperti menganalisis dan mengidentifikasi ulang beragam sasaran dan program prioritas dan mengembangkan beragam model pengganti serta rencana penerapan solusi agar sasaran dan jumlah nominal efisiensi tercapai.

Sementara, di sisi lain kudu tetap mengalokasikan anggaran untuk program-program prioritas nan mempunyai akibat besar terhadap kesejahteraan masyarakat namun juga memperhatikan pengukuran sasaran capaian terhadap setiap parameter keahlian dan nan telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Daerah Tahun 2024-2026 sebelum RPJMD Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terpilih Tahun 2025-2030 ditetapkan.

Tantangan lain juga adalah menyesuaikan anggaran dengan standar nilai satuan regional nan telah ditetapkan sebelumnya.

Dampak Negatif dan Tantangan Implementasi

Pertama, akibat menurunnya kualitas pelayanan publik. Pemotongan anggaran sering berakibat langsung pada jasa dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Jika wilayah kudu memangkas shopping operasional tanpa strategi nan jelas maka kualitas jasa publik bisa menurun drastis. Sebagai contoh misalnya pengurangan anggaran perjalanan dinas dan training ASN sebesar 50% bisa menghalang peningkatan kapabilitas aparatur wilayah nan justru dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi birokrasi.

Kedua, potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah. Anggaran wilayah sering menjadi penggerak utama ekonomi lokal terutama bagi wilayah nan berjuntai pada shopping pemerintah. Pemotongan shopping prasarana dan proyek-proyek pembangunan dapat menghalang pembuatan lapangan kerja dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di wilayah nan berjuntai pada sektor bangunan dan jasa terkait.

Ketiga, ketimpangan fiskal antardaerah. Efisiensi anggaran bisa berakibat lebih besar pada wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nan rendah. Daerah nan lebih berjuntai pada transfer pusat bakal lebih terpukul dibanding wilayah dengan PAD tinggi nan tetap bisa menutup kekurangan anggaran melalui pajak dan retribusi daerah. Hal ini berisiko memperlebar ketimpangan antara wilayah maju dan wilayah tertinggal.

Keempat, potensi korupsi dan manipulasi anggaran. Efisiensi anggaran juga bisa membuka celah bagi manipulasi pelaporan finansial daerah. Dengan adanya tekanan untuk menghemat anggaran, kepala wilayah mungkin tergoda untuk melakukan rekayasa laporan finansial agar terlihat efisien di atas kertas tetapi tetap mempertahankan praktik pemborosan dalam corak nan lebih terselubung.

Perspektif Alternatif di Daerah: Efisiensi nan Berkeadilan

Daripada menerapkan pemotongan anggaran secara seragam, ada beberapa pengganti kebijakan nan bisa dipertimbangkan. Pertama, peningkatan PAD melalui optimasi sumber pendapatan. Daripada sekadar memangkas belanja, pemerintah wilayah bisa lebih konsentrasi pada peningkatan PAD melalui pajak daerah, retribusi dan pemanfaatan aset wilayah secara produktif. Reformasi kebijakan pajak wilayah nan lebih setara dan transparan bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada transfer pusat.

Kedua, penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas. Efisiensi anggaran tidak hanya soal pemotongan tetapi juga soal memastikan bahwa setiap rupiah nan dibelanjakan betul-betul berdampak. Transparansi dalam proses perencanaan dan penyelenggaraan anggaran dapat membantu mengurangi kebocoran tanpa kudu memangkas shopping nan esensial.

Keempat, digitalisasi dan reformasi birokrasi. Penggunaan teknologi dalam manajemen pemerintahan seperti digitalisasi jasa publik dan pengadaan barang/jasa dapat menghemat biaya operasional tanpa mengorbankan kualitas layanan. Pemerintah pusat semestinya lebih berinvestasi dalam transformasi digital wilayah sebagai strategi efisiensi jangka panjang.

Kelima, pertimbangan berbasis keahlian bukan sekadar penghematan. Efisiensi semestinya diukur dari seberapa baik anggaran digunakan untuk mencapai sasaran pembangunan bukan sekadar dari seberapa besar anggaran nan dipangkas. Pemerintah pusat bisa menerapkan model pertimbangan berbasis keahlian nan mendorong wilayah untuk mencapai efisiensi tanpa merugikan pelayanan publik.

Efisiensi anggaran memang diperlukan dalam kondisi fiskal nan terbatas tetapi implementasinya kudu dilakukan dengan hati-hati agar tidak justru menghalang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pemotongan anggaran nan tidak terukur bisa menjadi bumerang bagi wilayah nan berjuntai pada biaya transfer pusat.

Oleh lantaran itu, kebijakan efisiensi anggaran kudu mempertimbangkan akibat jangka panjang dan tidak boleh hanya berfokus pada angka-angka di atas kertas. Efisiensi nan berkeadilan kudu menjadi tujuan utama dengan tetap memastikan bahwa penghematan tidak berujung pada kemunduran pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Bertholomeus Baghi Tjeme Perencana pada Bapperida Kabupaten Sikka

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Selengkapnya