Anak Binaan Di Antara Identitas Gender Dan Keadilan

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Dua tahun nan lalu, Agus—bukan nama sebenarnya, anak berumur 17 tahun kudu berhadapan dengan hukum. Dia melakukan kekerasan seksual kepada rekan laki-lakinya di sebuah pondok pesantren wilayah Jawa Barat. Tindakan itu dia lakukan lantaran pernah menjadi korban para seniornya. Agus adalah pelaku sekaligus korban.

Agus telah mengakui kesalahannya dan berjanji tak mengulanginya. Beberapa bulan setelahnya, family korban datang dan menerjang Agus dengan bogem mentah nan berulang.

“Saya dipanggil ke ruang administrasi. Saya baru salaman sama orang tuanya (korban) udah ditonjokin saja, dipukulin,” kata siswa SMP tersebut kepada detikX.

“Saya,” tutur Agus, “enggak tahu apa masalahnya. Terus datang lagi keluarganya nan lain, (saya) ditonjokin lagi”

Tak berselang lama, abdi negara kepolisian datang ke pondok pesantren. Mereka lampau membawa Agus ke instansi kepolisian resor setempat tanpa pendamping norma maupun psikologis. Agus diinterogasi untuk merampungkan buletin aktivitas pemeriksaan. Sejak saat itu Agus mendekam di tahanan polres. Ia dicampur berbareng para tahanan berumur dewasa dengan beragam kasus.

Seminggu setelahnya Agus dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan. Lagi-lagi dia dikumpulkan berserta para tahanan nan bukan berumur anak.

“Itu sembari nunggu sidang, proses sidang,” kenangnya.

Menjelang Lebaran Idul Fitri tahun lalu, Agus dijatuhi vonis hakim. Rata-rata di daerahnya, untuk kasus mengenai pelanggaran pidana UU Perlindungan Anak, pengadil memvonis 5 tahun kurungan penjara. Dia sendiri dijerat 5 tahun dan 6 bulan.

Setelah itu baru betul-betul diperlakukan sebagai anak, dia dipindahkan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Tangerang. Di tempat ini barulah dia merasakan dibina berbareng anak-anak lainnya nan seumuran.

“Bedanya jika di sini (LPKA) itu kami dibimbing, diarahkan. Kalau di lapas dewasa kami dibiarin saja dari pagi sampai malam itu terserah mau ngapain. Sekadar ada aktivitas saja, petugasnya enggak ngegerakin semuanya,” ujarnya.

Made with Flourish

Hanya saja, di LPKA, Agus tak ada pengelompokan unik nonbiner alias queer. Pengkategorian penempatannya hanya berasas kelamin biner: laki-laki dan perempuan. Agus mengaku tak masalah, karena dia sudah merasa lebih nyaman dan mengaku bisa beradaptasi, dibandingkan berada di lapas dewasa. Dia menempati satu bilik dengan ranjang tingkat beserta tiga Anak Binaan lainnya.

Enakan di sini (LPKA). Di sono (lapas dewasa) nasih sekepelan, di sini segabrak-gabrak. Kami minta lagi dikasih, asal jangan dibuang. Sama kayak di rumah itungannya. Di sono makan nasi cadong dimalingin.” 

“Kalau di lapas dewasa, mau ngapa-ngapainnya enggak enak, takut enggak sopan. Soalnya beda umur. Kalau di sini seumuran,” tuturnya.

Begitu juga dengan Andi—bukan nama sebenarnya, saat berumur 14 tahun kudu berkonflik dengan hukum. Dia melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap rekan sebayanya. Dia melakukan seks penetratif sodomi kepada korban. Tindakan itu dia lakukan tanpa rencana, hanya inisiatif instan. Dan, dia langsung merenungi perbuatannya sendiri lantaran menganggap itu tindakan nan keliru.

“Setelah itu saya tak bersuara di pojokan,” kata Andi kepada detikX.

Andi sempat menjadi tahanan rumah. Setiap pagi, siang, dan malam dia melaporkan aktivitasnya kepada kepolisian setempat melalui WhatsApp. Setelahnya dia dipindahkan ke lapas dewasa. Berselang sekitar satu tahun setelahnya, barulah dia dipindahkan ke LPKA Kelas I Tangerang. 

“Enakan di sini (LPKA). Di sono (lapas dewasa) nasih sekepelan, di sini segabrak-gabrak. Kami minta lagi dikasih, asal jangan dibuang. Sama kayak di rumah itungannya. Di sono makan nasi cadong dimalingin,” ujarnya.

Di luar, Andi merupakan anak jalanan. Dia seperti hidup nomaden, berpindah-pindah berbareng rekan-rekannya. Saat berumur 14 tahun itu, dia tetap kelas 4 Sekolah Dasar. Andi beberapa kali tak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah.

“Di sini (LPKA) lanjut sekolah kelas 5 SD,” tuturnya. LPKA Kelas I Tangerang memfasilitasi para Anak Binaan untuk melanjutkan jenjang pendidikan melalui program PKBM. Di sini tersedia kelas ramah anak nan tak ada bedanya dengan kelas di luar LPKA.

Sama seperti Agus, Andi hanya dikategorikan sebagai biner. Tak ada pengelompokan unik non-biner alias queer. Meski semua anak bimbingan mengetahui apa kasusnya, tetapi dia mengaku tak pernah mendapatkan perundungan.

“Tidak ada nge-bully,” ungkapnya singkat. Dan, di sini dia kerap berkomunikasi dengan psikolog, “Sering ditanya psikolog tentang hidup saya, pergaulan.”

Bagaimana Pelayanan Anak Nonbiner?

Anjar Seto, Kepala Seksi Pembinaan LPKA Kelas I Tangerang merespons senang saat tahu Anak Binaannya tak mengalami perundungan. Ada pendampingan unik terhadap anak bimbingan nan nonbiner, queer, alias apalagi nan berkasus mengenai kekerasan seksual.

“Ada pendampingan psikologis kepada Anak Binaan nan berkasus pelecehan seksual. Ada dokter, mahasiswa psikolog dengan didampingi dosennya (Universitas Al-Azhar Indonesia). Tidak hanya pendekatan secara kontemporer,” ujar Anjar kepada detikX.

Selain itu ada pula pendekatan secara perorangan maupun golongan melalui terapi nan bekerja sama dengan para mahasiswa pascasarjana Univeristas Taruma Negara. Pendampingan lainnya dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Tangerang.

Ada pendampingan psikologis kepada Anak Binaan nan berkasus pelecehan seksual."

Ada beragam hukuman jika Anak Binaan melanggar patokan LPKA Kelas I Tangerang. Di antaranya hukuman peringatan, pemisahan kamar, membersihkan bilik mandi, alias membaca sembari mencatat kitab di perpustakaan.

“Karena memang kepada Anak Binaan tidak ada penerapan hukuman masuk sel sunyi seperti dewasa. Kalau di (lapas) dewasa jika melakukan pelanggaran tata tertib bakal dicatat dalam kitab register F (buku catatan pelanggaran),” ujarnya.

Penempatan bilik Anak Binaan, kata Anjar, tak ada pemisahan unik selain hanya berasas kelamin biner. Untuk menjamin kenyamanan Anak Binaan, pihaknya sejak awal sudah melakukan asesmen untuk menilai akibat keamanan hingga mendalami minat dan talenta Anak Binaan. 

Begitu juga dengan Dyah Wandasari, Kepala Pokja Pembinaan Anak Direktorat Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Dia menjelaskan kenapa Indonesia hanya memisahkan berasas kelamin biner saja. Jika tak melaksanakan patokan ini, tentu bakal dianggap melanggar hukum.

Keberagaman kelamin kami ada perlakuan unik jika seaindanya ada. Itu makanya kami perlu menggandeng psikolog dari luar agar memberikan masukan kepada pegawai LPKA soal penanganan nan tepat kepada anak seperti ini."

“Prinsip kita bekerja itu kan merujuk patokan undang-undang. Kalau dalam undang-undang itu jenis kelamin hanya ada dua, ya laki-laki dan wanita ya kita kudu begitu. Tidak ada jenis kelamin lain selain laki-laki dan perempuan. Namun demikian, pada saat tataran di lapangan, melaksanakan tugas, seandainya ada penduduk bimbingan alias anak bimbingan nan kecenderungan seperti itu (nonbiner alias queer) menjadi perhatian unik bagian pembinaan,” ujar Dyah kepada detikX.

Kesadaran mengenai kewenangan anak, kata Dyah, sudah semakin kuat di tataran petugas LPKA. Ada beberapa LPKA nan sudah mendapatkan predikat ramah anak. Mereka mempunyai beragam standar operasional dan training pengasuhan untuk penyelenggaraan pendampingan anak.

“Jadi bagaimanalah agar tidak di-bully dengan teman-temannya nan lain. Terus memberikan pengertian kepada anak bimbingan nan lain, agar dengan anak nan nonbiner itu nyaman dengan mereka. Itu tugas krusial petugas,” terangnya. 

Anak binaan, kata Dyah, adalah korban. Karena mereka belum bisa 100 persen mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka melakukan perbuatan pelanggaran norma itu tidak murni atas dasar inisiasi alias niat jelek mereka. Mereka melakukan itu lantaran ada pengaruh dari orang dewasa. Makanya butuh mereka itu kudu dilindungi haknya dan ada prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak (CRC) nan diratifikasi banyak negara. 

“Keberagaman kelamin kami ada perlakuan unik jika seaindanya ada. Itu makanya kami perlu menggandeng psikolog dari luar agar memberikan masukan kepada pegawai LPKA soal penanganan nan tepat kepada anak seperti ini. Kalau tidak, psikolog ikut in-charge di dalamnya sebagai konselor,” jelasnya.

Tak semua LPKA mempunyai master khusus, sebagian hanya ada tenaga kesehatan. Namun, mereka terus mengusahakan agar pelayanan kesehatan anak bimbingan terpenuhi. Beberapa upayanya seperti terus membuka kerja sama dengan puskesmas, rumah sakit setempat, dan mengadakan kunjungan dokter. 

“Seperti di LPKA wilayah Jawa, ada anak nan terkena penyakit IMS gonore lantaran hubungan seksual nan tidak sehat dari luar (LPKA). Penyakitnya ketika di dalam LPKA perlu pengobatan rutin itu bekerja sama dengan rumah sakit daerah,” terangnya.

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat di California misalnya, Juvenile Justice Safety and Protection Act mewajibkan kebijakan anti-diskriminasi berasas identitas kelamin dan orientasi seksual dalam akomodasi pemasyarakatan anak. Fasilitas terapi hormon bagi anak-anak nonbiner alias queer di akomodasi pemasyarakatan sangat krusial lantaran dapat mempengaruhi kesehatan mental, kesejahteraan fisik, dan integritas identitas kelamin mereka. Namun di Indonesia, kata Dyah dan Anjar, belum ada praktik terapi hormon tersebut.

Anak Binaan Adalah Korban

Saat berinteraksi dengan anak bimbingan melalui perjanjian nan konsensual, detikX mendapati pengakuan ada tindakan seksual nan pernah dilakukan oleh rekan mereka. Anak-anak ini menjadi saksi tindakan tersebut di dalam lembaga pemasyarakatan.

“Sama-sama mau. Dia satu kamar,” ujarnya, dalam perihal ini anak tidak tergolong age of consent atau usia ketika dianggap dapat memberikan persetujuan seksual. “Lagi main kayak gitu keprek (istilah mereka untuk hubungan seksual),” imbuhnya.

Karena tidak ada anak nan dilahirkan langsung jahat. Jadi tidak bisa salahkan orang tuanya juga lantaran urusan ekonomi."

Tiga konselor maupun pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) nan detiKX temui, mengatakan ada beragam masalah nan tumbuh dari kebijakan hanya menggolongkan berasas kelamin biner itu. Bahkan seorang konselor PKBI mengakui, ada ABH nan mereka dampingi menjadi korban pelecehan seksual. imbuhnya.

Direktur PKBI Daerah Bengkulu, Abdul Salim Ali Siregar pun mengatakan perihal serupa. Namun menurutnya, anak sebagai pelaku pelecehan seksual juga merupakan korban. Apalagi status mereka sebagai anak binaan—setelah putusan hakim—adalah korban.

“Karena tidak ada anak nan dilahirkan langsung jahat. Jadi tidak bisa salahkan orang tuanya juga lantaran urusan ekonomi,” ujar Abdul kepada detikX.

Anak, kata Abdul, kudu dipenuhi haknya untuk berkembang, berpartisipasi, dan mendapatkan jasa pendidikan maupun kesehatan. Sayangnya belum semua LPKA di Indonesia mempunyai akomodasi itu.

“Yang krusial itu konseling, bukan mengubah dia menjadi seperti biasa (bukan lagi nonbiner), tapi gimana agar dia bisa menjadi nyaman. Karena haknya perlu dilindungi itu sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” ungkapnya.

“Penuhi kewenangan penduduk negaranya. Untuk orientasi (seksual) itu pilihan masing-masing,” tegasnya menambahkan.

Hak Anak Binaan nan tak terpenuhi, terutama anak nonbiner alias queer bakal rawan memicu emosi disforia gender. Mereka berpotensi mengalami pemikiran alias tindakan bunuh diri lantaran tingkat disforia nan tidak tertangani dan kesejahteraan mental nan diacuhkan. Jika negara menghormati kewenangan anak-anak nonbiner dan queer ini, para ABH ini bakal merasa diterima dan bakal condong bersikap kooperatif serta terbuka mengikuti program rehabilitasi sosial.

Penuhi kewenangan penduduk negaranya. Untuk orientasi (seksual) itu pilihan masing-masing.”

Abdul mengakui perihal tersebut. Risikonya, Anak Binaan menarik diri dari program rehabilitasi, memperburuk perilaku, alias apalagi menyebabkan mereka mengalami trauma tambahan.

“Pasti ada perlawanan-perlawanan. Jika tidak bisa mengungkap perlawanan nan lebih tinggi, nan menjadi sasaran kawan sebayanya. Siklusnya begitu,” tuturnya.

Oleh lantaran itu PKBI mempunyai program Youth Center, pelayanan rekan sebaya. Mereka menghimpun relawan berumur anak untuk mengedukasi anak binaan. Ini memicu tak terkesan menggurui saat menyampaikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi hingga GEDSI. Selain itu membikin anak bimbingan tak segan berkomunikasi dua arah.

“Selama ini kami intervensinya ke anak, agar dia mengenali dirinya. Dan, jika dia punya orientasi (seksual) nan berbeda kami bukan mengubah, itu kan pilihan. Tetapi dia sadar agar tidak menjadi korban untuk dieksploitasi. Jangan sampai ada kekerasan masalah orientasi. Kami pelan-pelan dengan bahasa nan disesuaikan dengan anak nan di LPKA,” terangnya.

Lantas gimana dengan training dan pertimbangan berkepanjangan untuk petugas dan penunggu pemasyarakatan unik anak? Petugas perlu dilatih untuk menggunakan pendekatan nan memahami akibat trauma (trauma-informed care). Ini krusial untuk menangani anak bimbingan nonbiner alias queer nan mungkin telah mengalami penolakan, diskriminasi, apalagi pelecehan sebelumnya.

“Kalau ruangannya sudah ramah tidak pakai ruji-ruji nan seram, makanannya enak, tapi jika petugasnya belum? Harus diakui kapabilitas petugas belum sampai ke sana. Hanya bicara anak saja, belum utuh memahami. Masih dalam simbol-simbol, petugas LPKA itu berbeda dengan petugas lapas, jarang mereka memakai seragam pakainya batik, jas. Masih simbol-simbol, belum ke perilaku,” ungkapnya.

Petugas itu sering langsung latah, begitu memandang anak nan lebih feminim dianggap kelainan."

Permasalahan dasarnya, para petugas LPKA ini direkrut dalam strata pendidikan SMA. Kemudian tak ada pengkhususan bagi mereka bakal ditempatkan di lapas dewasa alias LPKA. Ini membikin pemahaman mereka perlu sentuhan alias intervensi dari pihak luar, terutama bekerja-sama guna menciptakan perubahan nan positif dengan LSM alias NGO nan konsentrasi hak-hak anak secara umum hingga anak nonbiner alias queer untuk saling memperkuat akomodasi pemasyarakatan.

Direktur Eksekutif PKBI Daerah Nusa Tenggara Timur, Moudy F. Taopan menegaskan, saat ini PKBI tengah meramu modul untuk para petugas LPKA. Mereka tengah merancang modul training pengasuhan anak berhadapan dengan norma bagi petugas LPKA. Pekan lampau mereka mengundang petugas LPKA dari Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTT untuk mengikuti training itu. Sebelumnya mereka telah bekerja-sama dengan LPKA di Lampung dan Kalimantan Barat.

“Petugas itu sering langsung latah, begitu memandang anak nan lebih feminim dianggap kelainan, walaupun tidak semua petugas seperti itu. Jadi PKBI berproses dengan mereka, kami nyaris 10 tahun bekerja-sama dengan LPKA. Kami memisahkan antara seks dan kelamin itu dua perihal berbeda. Apa nan dikonstruksikan oleh masyarakat dan apa nan dibawa secara biologis berbeda,” jelas Moudy kepada detikX.

Materi nan mereka diskusikan seputar GEDSI, kesehatan reproduksi, hingga menyoal disiplin positif. Menurutnya, ini krusial untuk menjadi referensi kerja para petugas LPKA. Bahkan harusnya, kata Moudy, semua pihak kudu terlibat untuk memenuhi kewenangan anak binaan.

“Dari penangkapan, ke jaksa, pengadilan itu anak kudu feel comfort, kudu nyaman. Tetapi kenyataannya tidak begitu kita mau sampai model nan ideal butuh proses panjang. Kalau anak merasa nyaman sejak ditangkap lantaran ada nan mendampingi, ada konselor alias psikolog nan ada terus berbareng dia, ketika sampai di LPKA tidak bakal membikin sebuah masalah lagi. Itu nan terabaikan, pendampingan anak selama prosesnya,” ujarnya.

Bahkan lebih dari itu, PKBI mendorong kementerian/lembaga alias strukturalnya di wilayah untuk ikut bertanggung jawab memenuhi kewenangan anak binaan. Untuk pendidikan misalnya, perlu tindakan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Terkait kesehatan, perlu Kementerian Kesehatan. Begitu juga kementerian/lembaga lainnya menyangkut kewenangan sosial hingga perlindungan anak.

Reporter & Penulis:
Dieqy Hasbi Widhana

Editor:
Irwan Nugroho

Foto Cover:
Salah satu coretan di tembok LPKA Kelas I Tangerang. (Dieqy HW/detikX)

[Widget:Baca Juga]

Selengkapnya