Pemerintah Diminta Bedakan Skema Subsidi Perumahan Untuk Mbr Dan Mbt

Sedang Trending 5 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Pemerintah Diminta Bedakan Skema Subsidi Perumahan untuk MBR dan MBT Silatnas Apersi 2025(Dok. MI)

PEMERINTAH diminta membedakan skema subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT). Skema tunggal dinilai tidak lagi efektif lantaran tidak mencerminkan daya beli dan kebutuhan riil di lapangan.

“Subsidi kudu tetap berpihak pada nan betul-betul membutuhkan,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah dalam acara Silatnas Apersi nan digelar di Jakarta, Kemarin. 

Menurut Junaidi, sulan ini tidak datang tiba-tiba. Berangkat dari realitas sosial ekonomi, banyak nan menilai skema subsidi saat ini tetap terlalu seragam dan belum mempertimbangkan daya beli nan beragam di lapangan.

Dalam skema usulan baru, kata dia, MBR bakal tetap difasilitasi dengan kembang ringan seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar 5%. Namun, untuk MBT — ialah masyarakat dengan penghasilan di atas Rp8 juta hingga Rp14 juta — diusulkan skema subsidi parsial dengan suku kembang hingga 7%.

"Harga jual rumah subsidi juga kudu disesuaikan, misalnya untuk MBT idealnya rumah di bawah Rp250 juta, namun lebih dekat ke pusat kota agar efisien dari sisi mobilitas," kata dia.

Meski mendukung ekspansi pemisah penghasilan penerima subsidi hingga Rp14 juta, Junaidi menekankan pentingnya proporsi nan adil, ialah 70% untuk MBR dan sisanya untuk MBT.

“Jangan sampai subsidi justru dinikmati mereka nan semestinya sudah cukup bisa secara ekonomi,” ujar Junaidi.

Junaidi menjelaskan, dalam Silatnas kali ini, rumor nan tidak kalah krusial adalah soal syarat slip gaji  yang selama ini membatasi akses subsidi hanya untuk pekerja formal. Padahal, sekitar 70% penghasilan masyarakat Indonesia berasal dari sektor informalseperti pedagang, ojek online, dan UMKM.

"Di sini kami mendesak agar pemerintah membuka akses lebih luas dengan sistem verifikasi penghasilan nan lebih inklusif dan adil," kata dia.

Sekretaris Jenderal Apersi Deddy Indrasetiawan menambahkan, Karawang menjadi contoh nyata ketidaksesuaian antara kebijakan dan realita di lapangan. Meski pendapatan masyarakatnya sudah tinggi (joint income rumah tangga bisa di atas Rp10 juta), pemisah penghasilan subsidi dan nilai rumah tetap rendah.

“Harga rumah di Karawang bisa naik dari Rp1,66 miliar ke Rp1,86 miliar untuk menyesuaikan kualitas dan permintaan,” jelas Deddy.

Menanti Blueprint dan Reformasi Skema Subsidi

Meski Satgas telah merilis white paper yang komprehensif, blueprint resmi tetap belum diterbitkan Kementerian BKP. “

Kalau tidak ada peta jalan nan jelas, program 3 juta rumah ini bisa kandas di implementasi,” ujar Junaidi lagi.

Diharapkan blueprint nan segera terbit dapat mengakomodasi diferensiasi skema subsidi ini agar lebih adil, realistis, dan tepat sasaran.

Sejauh ini Apersi selalu mendukung program pemerintah, tapi tetap prinsipnya sering mengingatkan, dan sikap kritis tetap jalan.

Menurut Junaidi, Silatnas Apersi itu pun digelar untuk menggali isu-isu terkini mengenai industri properti, terutama gimana stakeholder nan diundang agar memberikan info aktual nan saat ini ditunggu-tunggu oleh para pengembang.

“Jadi gimana sasaran program tiga juta rumah ini, kolaborasinya seperti apa. Jadi isu-isu terkini kami diskusikan dengan para mitra. Poinnya adalah gimana program tiga juta rumah ini bisa melangkah dengan baik, jangan sampai program nan sudah baik ini ada pihak-pihak nan kurang mendukung,” terangnya. (Z-10)

Selengkapnya