ARTICLE AD BOX
Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan, pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bakal dilanjutkan di masa sidang mendatang.
Menurut dia, Timus (tim perumus) dan Timsin (tim sinkronisasi) RUU KUHAP belum merampungkan perbaikan naskah di masa sidang ini.
"Pembahasan RUU KUHAP kemungkinan besar bakal dilanjutkan di masa sidang depan. Saat ini Tim Teknis Timus Timsin nan terdiri dari Staf Sekretariat dan Tenaga Ahli Kom III, Badan Keahlian dan Tim Pemerintah belum bisa menyelesaikan perapihan naskah," kata Habiburokhman kepada wartawan, Jumat (18/7/2025).
Saat ini, lanjutnya, tetap ada agenda pencermatan oleh Timus dan Timsin. Selain itu, Panja RUU KUHAP juga tetap bakal menerima masukan dari beberapa pihak, diantaranya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Selain itu kami bakal terus menerima masukan dari beragam komponen masyarakat mulai dari YLBHI, bapak Hotman Paris hingga KPK serta elemen-elemen lain," kata dia.
Politikus Gerindra itu kembali mengklaim, pembahasan RUU KUHAP snagat transparan.
"Seluruh personil Kom III berkomitmen untuk memaksimalkan partisipasi publik serta transparansi agar KUHAP bisa betul-betul berkualitas," pungkasnya.
KPK Temukan Ada 17 Masalah dalam RUU KUHAP
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 17 persoalan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, di mana merupakan hasil obrolan internal lembaga antirasuah tersebut.
Disebutkan, bahwa temuan ini mencerminkan ketidaksinkronan RUU tersebut dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK.
"Dalam perkembangan obrolan di internal KPK, setidaknya ada 17 poin nan menjadi catatan, dan ini tetap terus kami diskusikan," kata Budi seperti dilansir dari Antara, Kamis (17/7/2025).
Adapun dia memaparkan, poin nan pertama adalah hilangnya sifat lex specialis atau kekhususan KPK dalam RUU KUHAP. Poin kedua, keberlanjutan penanganan perkara KPK nan hanya dapat diselesaikan berasas KUHAP.
Untuk poin ketiga, penyelidik KPK nan tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP, dan penyelidik disebut hanya berasal dari Polri serta diawasi oleh interogator Polri.
Poin keempat, RUU KUHAP mengatur arti penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana, sedangkan penyelidikan berasas UU KPK untuk menemukan sekurang-kurangnya dua perangkat bukti.
Sedangkan poin kelima, keterangan saksi nan diakui sebagai perangkat bukti dalam RUU KUHAP hanya berasas nan diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan penyelidikan tidak. Sementara UU KPK menyebut keterangan saksi dapat diakui sebagai perangkat bukti sejak tahap penyelidikan, alias sebelum tahap investigasi dan seterusnya.
Poin Lainnya
untuk poin keenam, penetapan tersangka baru ditentukan setelah interogator mengumpulkan dan memperoleh dua perangkat bukti, sedangkan KPK sudah dapat menetapkan tersangka sejak perkara naik status dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
Ketujuh, penghentian investigasi dalam RUU KUHAP disebut wajib melibatkan interogator Polri. Sementara KPK berkuasa secara independen memberhentikan investigasi dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas KPK.
Kedelapan, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui interogator Polri, sedangkan KPK berkuasa untuk melimpahkan berkas perkara dari interogator KPK kepada Penuntut Umum KPK.
Kesembilan, mengenai penggeledahan terhadap tersangka perlu didampingi interogator Polri dari wilayah norma tempat penggeledahan.
Kesepuluh, RUU KUHAP mengatur penyitaan kudu mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal, UU KPK mengatur penyitaan tidak perlu izin Ketua PN.
Poin 11-17
Sebelas, penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, mendapatkan izin Ketua PN, dan merupakan upaya paksa. Sementara kewenangan penyadapan KPK sudah dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan nan diberitahukan kepada Dewas, tanpa izin Ketua PN, dan berkarakter rahasia.
Dua belas, larangan berjalan keluar negeri nan dalam RUU KUHAP hanya untuk tersangka.
Tiga belas, pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan.
Empat belas, kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP.
Lima belas, perlindungan terhadap saksi alias pelapor hanya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Padahal, KPK dapat memberikan terhadap saksi dan pelapor perkara tindak pidana korupsi.
Enam belas, penuntutan di luar wilayah norma dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung. Sementara penuntut KPK diangkat dan diberhentikan KPK dan berkuasa melakukan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia.
Terakhir, penuntut umum terdiri atas pejabat Kejaksaan dan suatu lembaga nan diberi kewenangan berasas ketentuan UU. Sebaiknya, ditulis pejabat KPK merupakan bagian dari penuntut umum.