ARTICLE AD BOX

Saban tahun setiap musibah kebakaran rimba dan lahan (Karhutla) terjadi di Riau, nama Manggala Agni, nan merupakan petugas pemadam kebakaran rimba di bawah Kementerian Kehutanan ini selalu disebut-sebut. Bahkan, tokoh lingkungan nasional Prof. Emil Salim pernah menyebut Manggala Agni adalah ujung tombak dalam perang melawan Karhutla.
Pujian terhadap Manggala Agni memang tidak berlebihan, baik lantaran keahlian maupun tugas berat nan disandang mereka. Saat bertugas, tidak jarang para petugas Manggala Agni kudu berhari-hari tidak pulang karena berjibaku dengan api. Mereka kudu terus menyisir lahan ratusan apalagi ribuan hektar untuk mencari titik api dan memastikannya padam.
Nyawa jelas menjadi taruhan. Bahkan sebelum itu pun, para petugas Manggala Agni sudah kudu menghadapi beragam akibat kesehatan, baik pernafasan hingga pengelihatan. Di sisi lain, meski status kepegawaian Manggala Agni sudah membaik, kondisi kerja tetap cukup memprihatinkan.
Kepala Balai Pengendalian Kebakaran Hutan (Kabalai Dalkarhut) Sumatra, Ferdian Krisnanto kepada Media Indonesia bahwa status Manggala Agni sebelumnya pegawai pemerintah non pegawai negeri (PPNPN) alias honorer dan tenaga lepas. Saat ini, sebagian mereka sudah berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Sudah lumayan bagus. Dulu kan kawan-kawan (Manggala Agni) ini PPNPN, saat ini sudah PPPK. Cuman memang ke depan perlu ditambah personel untuk regenerasi dan revitalisasi sarprasnya (sarana prasarana). Karena ancaman Karhutla itu kan tiap tahun pasti ada dan makin bergerak juga," kata Ferdian nan bekerja di tengah Karhutla di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau, Rabu (30/7).
Untuk wilayah Sumatra nan sangat luas, jumlah total personel Manggala Agni nan menjaga Sumatra hanya sebanyak 956 orang. "Personel saya saat ini 956 orang, untuk melaksanakan aktivitas di 10 Provinsi di Sumatra. Agar berat juga jika sedang musim kebakaran berbarengan Riau, Sumut (Sumatra Utara), Jambi, dan Sumsel (Sumatra Selatan)," jelas Ferdian.
Menumpang Motor dan Sampan Warga
Mirisnya lagi, setiap kali masuk ke dalam pelosok rimba dan letak ekstrem, tim pemadam Manggala Agni kudu menumpang sampan alias motor masyarakat. Bahkan, kudu melangkah kaki hingga berkilo-kilo meter mengangkut perlengkapan dan peralatan pemadam mulai dari mesin pompa air, selang, dan sebagainya nan sangat berat. Sangat disayangkan, pasukan elit ujung tombak Karhutla ini tidak didukung helikopter pengangkut orang dan peralatan dalam bekerja di dalam hutan.
"Tadi pagi kami tetap dibantu penduduk dengan sampai mencapai lokasi. Kami sudah ada peralatan lengkap, namun memang lantaran operasi kami sebagian besar di letak nan ekstrem, peralatan kami perlu rutin direvitalisasi. Misalnya selang dan pompa, pada operasi panjang selalu butuh back-up agar operasi tidak berakhir jika ada nan rusak, langsung tukar tidak boleh jeda," tuturnya.
Penegakan Hukum Lemah, Kebakaran Berulang
Komandan Manggala Agni Daops Pekanbaru, Chaerul Parsaulian Ginting, kepada Media Indonesia mengaku banyak curahan hati teman-teman Manggala Agni nan cukup jengah dengan terulangnya terus kasus Karhutla setiap tahun namun penegakan norma nan kurang jelas.
"Makanya kami juga nan di bawah banyak ngelus dada, kasus berulang, kami terus madam, tapi tak ada penyelesaian masalah tanahnya dan penegakan hukumnya," jelasnya.
Hal serupa dikatakan master lingkungan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau Elviriadi. Ia mengatakan belum ada kesungguhan dari pemerintah untuk pencegahan Karhutla sejak dari bagian hulu.
"Yang saban tahun terjadi itu hanya pemadaman api lahan terbakar. Seharusnya pencegahan dari hulu. Rehabilitasi lahan, pembasahan gambut, kemudian mitigas musibah Karhutla. Dan lakukan penanaman tanaman unik gambut seperti nanas, alias kopi ya. Contoh kopi liberika di Kabupaten Meranti. Jadi Riau bukan hanya sawit saja, kopi juga ramah lingkungan dan secara ekonomis juga baik bagi masyarakat Riau," ungkapnya. (M-1)