Tes Darah Untuk Diagnosis Alzheimer: Harapan Baru Dalam Deteksi Dini Penyakit

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
 Harapan Baru dalam Deteksi Dini Penyakit Studi terbaru menunjukkan tes darah dapat mendeteksi biomarker seperti protein p-tau217 dengan kecermatan tinggi, untuk mendeteksi awal Alzheimer.(freepik)

ALZHEIMER adalah penyakit neurodegeneratif nan paling umum dan menjadi penyebab utama demensia di seluruh dunia. Diagnosis awal menjadi tantangan tersendiri, tetapi kemajuan dalam penelitian menunjukkan tes darah bisa menjadi solusi nan lebih mudah, murah, dan efektif dibandingkan metode konvensional seperti pemindaian otak alias pungsi lumbal. 

Namun, seiring dengan penemuan ini, muncul perdebatan tentang gimana Alzheimer semestinya didefinisikan dan kapan pemeriksaan kudu ditegakkan.

Awal Mula Perjalanan Diagnosis Alzheimer

Chris pertama kali menyadari ada nan tidak beres dengan ibunya, Shirley, saat mereka sering berkomunikasi melalui Skype. Awalnya, Shirley kerap mengulang pertanyaan dalam hitungan menit. 

Chris dan keluarganya mengira ini hanya masalah teknis, tetapi kemudian sang ayah menyatakan kekhawatirannya terhadap ingatan Shirley. Karena ibunya baru berumur 63 tahun, Chris susah percaya ada nan salah. Hingga akhirnya, pada liburan Natal di luar negeri, Shirley mengalami disorientasi di rumah mereka sendiri. Saat itu, family tahu bahwa ini bukan sekadar gangguan memori biasa.

Shirley baru didiagnosis menderita Alzheimer pada usia 67 tahun melalui tes kognitif sederhana nan dilakukan master umum, ialah menggambar jam dengan waktu tertentu di atas kertas. Keputusan itu disampaikan hanya dalam satu baris surat tanpa konsultasi lebih lanjut dengan mahir saraf. Chris kecewa dan merasa pemeriksaan ini terlalu dangkal.

Kini, di usia 75 tahun, Shirley hidup dengan Alzheimer stadium lanjut. Penyakit ini memengaruhi ingatan, bahasa, dan perilaku. Standar pemeriksaan Alzheimer saat ini melibatkan tes kognitif ditambah pemindaian otak alias pengambilan sampel cairan serebrospinal untuk mendeteksi kadar abnormal protein amiloid dan tau. Namun, metode ini mahal dan tidak selalu dapat diakses oleh semua pasien.

Tes Darah: Harapan Baru untuk Diagnosis Dini Alzheimer

Penelitian terbaru menunjukkan Alzheimer dapat dideteksi hanya dengan setetes darah. Dalam beberapa tahun terakhir, para intelektual telah mengembangkan tes darah nan terbukti sama efektifnya dalam mendeteksi biomarker Alzheimer dibandingkan pemindaian otak alias pungsi lumbal.

David Thomas dari Alzheimer’s Research UK menyebut bahwa hanya sekitar 2% perseorangan di Inggris nan didiagnosis menggunakan metode biomarker saat ini. Jika tes darah dapat diterapkan dalam skala luas, pemeriksaan bisa menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih merata.

Bulan lalu, pasien pertama menerima tes darah sebagai bagian dari dua uji coba nan didukung oleh Alzheimer’s Research UK dan Alzheimer’s Society. Studi Alzheimer’s Disease Anti-inflammatory Prevention Trial (ADAPT) sedang meneliti protein p-tau217, nan spesifik untuk Alzheimer. 

Penelitian ini bermaksud memahami gimana tes darah dapat diterapkan dalam praktik klinis dan menentukan siapa nan semestinya diuji serta kapan waktu nan tepat untuk melakukannya.

Kontroversi dalam Diagnosis Alzheimer

Kebutuhan bakal pemeriksaan nan lebih sederhana semakin mendesak setelah disetujuinya obat penurun amiloid, seperti lecanemab dan donanemab. Obat-obatan ini telah mendapatkan lisensi di Inggris, tetapi belum didanai NHS lantaran manfaatnya dinilai tetap terbatas dibandingkan dengan biayanya.

Beberapa peneliti beranggapan efektivitas obat ini rendah lantaran pasien sering kali menerima pengobatan terlalu terlambat, bertahun-tahun setelah amiloid mulai menumpuk di otak. Jika diberikan lebih awal, obat ini mungkin dapat mencegah akumulasi amiloid dan menunda timbulnya Alzheimer. Namun, asumsi ini tetap dalam tahap pengujian.

Selain itu, arti Alzheimer juga menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Tahun lalu, Alzheimer’s Association di AS mengusulkan bahwa perseorangan dengan biomarker abnormal dapat didiagnosis dengan Alzheimer, meskipun belum menunjukkan indikasi klinis. Ini berfaedah Alzheimer dimulai sejak amiloid pertama kali menumpuk di otak, nan bisa terjadi puluhan tahun sebelum indikasi muncul.

Namun, International Working Group nan didominasi oleh peneliti Eropa menolak pandangan ini. Mereka menegaskan bahwa Alzheimer hanya boleh didiagnosis jika seseorang sudah menunjukkan indikasi kognitif. Menurut golongan ini, perseorangan dengan biomarker abnormal tetapi tanpa indikasi kudu dianggap "berisiko" mengembangkan penyakit, bukan penderita Alzheimer.

Profesor Nicolas Villain dari Universitas Sorbonne, Paris, menyebut bahwa sebagian besar perseorangan dengan amiloid positif tidak bakal pernah mengalami indikasi Alzheimer. Jika seseorang diberi label sebagai penderita Alzheimer hanya lantaran biomarker, padahal mereka mungkin tidak bakal pernah mengalami demensia, ini bisa menjadi perihal nan merugikan.

Tantangan dalam Implementasi Tes Darah Alzheimer

Meskipun tes darah mempunyai potensi besar dalam pemeriksaan dini, ada kekhawatiran bahwa orang bakal menggunakannya tanpa konsultasi dokter. Profesor Jonathan Schott dari Alzheimer’s Research UK menegaskan saat ini, hasil tes biomarker positif sebaiknya dianggap sebagai parameter risiko, bukan bukti pasti adanya penyakit.

“Tantangannya adalah menentukan perseorangan dengan biomarker positif nan betul-betul berisiko mengembangkan indikasi dalam beberapa tahun ke depan dan menawarkan mereka pengobatan nan tepat,” katanya. “Namun, tes darah sederhana saat ini tetap belum cukup untuk itu.”

Dengan kemajuan teknologi, tes darah mungkin bakal menjadi perangkat pemeriksaan nan lebih mudah diakses. Namun, keputusan kapan dan gimana tes ini kudu digunakan tetap menjadi perdebatan. nan jelas, semakin awal penyakit ini dapat dideteksi, semakin besar kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan perawatan nan lebih baik dan memperlambat perkembangan penyakit ini. (The Guardian/Z-2)

Selengkapnya