ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Dalam setiap kerakyatan nan matang, selalu ada ruang, sungguh pun sempit dan sunyinya, bagi mereka nan memilih bersuara saat kebanyakan memilih diam. Mereka nan menyuarakan nurani, bukan lantaran jabatan, tetapi lantaran keberanian untuk menolak lupa dan menolak tunduk. Dalam lanskap Indonesia, merekalah nan kita kenal sebagai pembela kewenangan asasi manusia (HAM). Namun, peran ini jarang membawa prestise, apalagi perlindungan. Menjadi pembela HAM di Indonesia bukan hanya berfaedah menantang kekuasaan, tetapi sering juga berfaedah menjadi sasaran kriminalisasi, stigmatisasi, apalagi kekerasan. Dari nama-nama nan telah gugur seperti Munir Said Thalib, Marsinah, hingga Golfrid Siregar, hingga mereka nan tetap memperkuat hari ini. Semua menyisakan pertanyaan fundamental: Siapa nan memihak para pembela HAM?
Infrastruktur Demokrasi nan Tak Terlindungi
Jika kita sepakati bahwa kerakyatan tak semata tentang prosedur elektoral, tetapi juga tentang ruang kritis dan perlindungan terhadap keberanian sipil, maka pembela HAM adalah bagian dari prasarana kerakyatan itu sendiri. Mereka datang sebagai pengacara rakyat, wartawan investigatif, aktivis lingkungan, pendamping korban kekerasan seksual, hingga pembela tanah adat. Perannya tak hanya sebagai katalis perubahan, tapi juga sebagai penyangga nilai konstitusional nan sering diabaikan negara. Namun ironinya, negara nan mestinya menjadi pelindung malah acap kali menjadi pengamat pasif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan dari Human Rights Watch dan Komnas HAM menunjukkan tren peningkatan represi terhadap pembela HAM dalam dua dasawarsa terakhir, terutama mereka nan bersuara soal lingkungan hidup, masyarakat adat, dan kebebasan berekspresi. Ancaman datang dalam beragam bentuk: doxing digital, gugatan norma nan absurd, kriminalisasi berbasis pasal karet, apalagi kekerasan fisik. Secara yuridis, pembela HAM tidak mendapat pengakuan definitif dalam sistem norma pidana nasional. Mereka bukan "korban" dalam KUHP, bukan "saksi" dalam KUHAP, dan belum dianggap subjek perlindungan norma oleh LPSK, selain dalam kasus tertentu nan ditafsirkan luas. Maka celah norma ini menjadikan mereka rentan, secara struktural dan sistemik.
Pembela HAM: Dari Individu Moral ke Kekuatan Kelembagaan
Fenomena pembela HAM di Indonesia mengalami perkembangan penting. Dari semula datang sebagai perseorangan moral nan menantang ketimpangan kekuasaan, sekarang mereka telah membentuk jaringan kolektif: LSM, serikat buruh, organisasi masyarakat adat, hingga lembaga support hukum. Bahkan secara institusional, sekarang ada lembaga negara seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, LPSK, serta beragam watchdog independen nan menjadi perpanjangan tangan advokasi. Namun meski kelembagaan pembela HAM mulai terbentuk, kerangka hukumnya belum mengimbangi realitas tersebut. Dalam banyak kasus, mereka justru menjadi korban dari sistem norma nan hendak mereka koreksi. Ada paradoks akut di sini: sistem nan tak setara tidak hanya menolak dikritik, tetapi juga mencederai nan mengkritik.
Harapan Legislasi: Dari Teknis ke Etis
Deklarasi PBB tentang Pembela HAM (1998) dengan tegas mewajibkan negara menyediakan perlindungan komprehensif bagi setiap perseorangan alias golongan nan memperjuangkan HAM secara damai. Maka upaya Komisi XIII DPR RI untuk mendorong revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah momen penting. Di kembali teknis legislasi, tersimpan misi etis nan besar: mengakui dan melindungi pembela HAM secara legal, bukan hanya moral. Langkah ini tidak hanya krusial secara hukum, tetapi juga sejalan dengan standar internasional.
Kita sampai pada simpul etis terakhir: ini bukan semata soal undang-undang, tetapi soal keberpihakan dalam sejarah. Negara tidak bakal dikenang lantaran jalan tol alias pertumbuhan ekonomi semata, tetapi lantaran siapa nan dia pilih untuk dilindungi saat bunyi keadilan paling dibungkam. Komisi XIII DPR-RI, berbareng mitra-mitranya, mempunyai kesempatan langka untuk membalik arah sejarah legislasi kita, dari sekadar prosedural menjadi transformasional. Tapi itu hanya bakal terjadi jika para legislator berani mengambil posisi yang, secara politik, mungkin tak populer: berpihak kepada nan tidak bersuara. Jika langkah ini berhasil, Indonesia tidak hanya bakal mengukir preseden norma baru, tetapi juga menyatakan kepada bumi bahwa negara ini tidak takut pada bunyi kritis, lantaran dia mengerti bahwa mereka nan bersuara untuk keadilan adalah mereka nan menjaga nyala konstitusi tetap hidup.
Harapan untuk Komisi XIII DPR-RI
Mungkin pertanyaannya tak lagi: "Siapa nan memihak pembela HAM?" Tetapi: Apakah kita tetap bangsa nan layak disebut demokratis jika membiarkan mereka berjuang sendirian? Komisi XIII DPR-RI muncul sebagai awal jawaban dan sekarang berada di titik krusial untuk membuktikan perihal itu. Sebagai salah satu komisi strategis dalam urusan legislasi perlindungan HAM, Komisi XIII DPR-RI sebagai komisi baru, mempunyai mandat sejarah nan paling tua. Kita berambisi Komisi XIII DPR-RI tak hanya menyusun rumusan nan normatif, tetapi juga berani menjaga semangat konstitusional dalam setiap pasal: perlindungan tak boleh bersyarat, dan pembela HAM tak boleh terus dibiarkan jadi korban tanpa pengakuan. Jika Komisi XIII DPR-RI sukses menunaikan ini dengan integritas dan keberanian, maka dia tidak hanya bakal dikenang sebagai lembaga legislatif, tapi sebagai pionir dalam memulihkan keadilan nan selama ini tersumbat di ruang-ruang senyap demokrasi. Karena pada akhirnya, sejarah tidak bakal mengingat kita lantaran berapa banyak undang-undang nan kita sahkan, tapi lantaran siapa nan kita pilih untuk dilindungi ketika keadilan paling memerlukan keberpihakan, dan para pembela HAM tersebut, tidak melangkah sendirian.
Rosita Miladmahesi. Peneliti di Indonesia South-South Foundation & Tenaga Ahli DPR-RI.
Tonton juga video "Respons Menteri Pigai soal Usulan Lembaga HAM Jadi Satu Kamar" di sini:
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini