Rohingya Protes Dana Bantuan Dipangkas: Kami Dibiarkan Mati Pelan-pelan

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Para pengungsi Rohingya sekarang menghadapi situasi kritis pascapemangkasan biaya support dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) pada Januari lalu. Beberapa pengungsi apalagi mengatakan hidup mereka kian tidak pasti dan merasa seperti dibiarkan meninggal pelan-pelan di tengah ketidakpastian.

Perwakilan IOM di Jakarta menjelaskan pemotongan biaya support untuk pengungsi ini dilatari oleh keputusan Presiden AS Donald Trump nan menghentikan sementara pendanaan support luar negeri. Karenanya, IOM kudu mematuhi kebijakan tersebut dan menerapkannya.

Pengamat kebijakan hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dafri Agussalim, sangat menyayangkan keputusan Trump nan menghentikan pendanaan support luar negerinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab negara-negara nan menampung para pengungsi kudu "kena getahnya". Di Indonesia, menurut Dafri, bisa saja terjadi kejahatan jika para pengungsi terdesak oleh kebutuhan hidup mereka.

Adakah nan bisa dilakukan pemerintah atas persoalan ini?

'Hidup kami makin sulit'

Sebuah rumah sederhana berukuran 6x12 meter persegi nan berada di dalam gang mini di Kota Medan, dihuni satu family dalam ketidakpastian.

Bangunan bercat hijau dengan lantai polos tanpa keramik tersebut ditempati Hosen, istri, dan empat anaknya.

Sekitar tiga pekan lalu, family pengungsi Rohingya itu terpaksa kudu angkat kaki dari tempat penampungan nan selama ini disediakan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

garisBBC

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah nan pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WA Anda.

garisBBC

Pada Kamis (13/02) lalu, BBC News Indonesia diperbolehkan berjamu ke rumah Hosen.

Tak banyak barang-barang di dalamnya, tapi nan menarik perhatian sebuah foto family Hosen nan dibingkai seadanya terpajang di dinding.

Karena gedung ini bentuknya memanjang, tiap ruangan nan disulap jadi bilik disekat dengan triplek dan ditutup dengan tirai.

"Hidup kami semakin susah lantaran pengurangan bantuan, sementara kami kudu mencari dan bayar tempat tinggal sendiri," tuturnya pasrah.

"Kami minta dikembalikan seperti dulu," sambungnya.

Para imigran etnik Rohingya asal Myanmar berada dalam tenda pengungsian sementara di lapangan sepak bola Seunebok Rawang, Aceh Timur, Aceh, Minggu (2/2/2025).ANTARA FOTOPara imigran etnik Rohingya asal Myanmar berada dalam tenda pengungsian sementara di lapangan sepak bola Seunebok Rawang, Aceh Timur, Aceh, Minggu (02/02).

Pengurangan biaya support dari IOM kepada pengungsi Rohingya, katanya, sudah berjalan sejak Januari 2025.

Organisasi nan mengurusi para imigran dan pencari suaka ini disebut tidak lagi membiayai penginapan sebagian besar pengungsi Rohingya di Medan.

Akibatnya, selain Hosen ada puluhan orang bernasib sama.

Kepada BBC News Indonesia, laki-laki 38 tahun ini bercerita dulu hidupnya sangat tenteram berbareng family di Hasyurata, desa mini di Kota Maungdaw, Rakhine, Myanmar. Ia bekerja sebagai nelayan.

Namun ketenangannya sirna pada 2012, ketika puluhan ribu penduduk Rohingya diusir dari permukiman mereka.

Berselang lima tahun kemudian, ungkapnya, militer nan didukung pemerintah Myanmar melancarkan operasi sadis nan disebutnya mengarah pada genosida.

Orang-orang Rohingya meninggal dibunuh, ujar Hosen, termasuk kerabat laki-laki dan ayah kandungnya. Warga lain tak luput disiksa secara sadis dan diperlakukan tak manusiawi.

Ladang dan rumah mereka diberangus hingga akhirnya keberadaan mereka tak diakui sebagai penduduk negara.

  • Salahkah saya mencintai suami saya? Dia juga manusia Pahit getir kehidupan wanita Indonesia nan menikah dengan pengungsi Rohingya
  • Puluhan pengungsi Rohingya direlokasi ke penampungan di Aceh Timur setelah terkatung-katung di laut Kronologi dan kebenaran terbaru
  • Pengungsi Rohingya tinggalkan kamp penampungan di Aceh Barat, Indonesia 'semakin mudah menjadi jalur penyelundupan manusia'

Situasi ini membikin ratusan ribu penduduk Rohingya kabur dari Rakhine demi menyelamatkan diri.

Hosen sempat tinggal di kamp pengungsian Cox's Bazar Bangladesh, sebelum terombang-ambing di lautan selama enam bulan berbareng ratusan orang lainnya.

Pada 7 September 2020 malam, kapal kayu nan ditumpanginya kandas di perairan Aceh. Mereka diboyong ke Kota Lhokseumawe.

Tapi, tak semuanya sukses menginjakkan kaki dengan selamat. Ia berkata, banyak pengungsi nan meninggal lantaran berdempet-dempetan dan kelaparan.

Dia, istri, dan tiga anaknya bisa memperkuat hidup.

Dalam hitungan bulan, Hosen sekeluarga dipindahkan ke Kota Medan. Mereka ditampung di suatu penginapan di Jalan Jamin Ginting. Di sini, anak bungsunya lahir.

Selain tempat tinggal, mereka juga diberi duit bulanan.

Untuk orang dewasa besarannya Rp1.250.000 per orang/bulan dan anak di bawah 18 tahun mendapatkan Rp500.000 per orang/bulan.

Anak-anak imigran etnik Rohingya asal Myanmar berada dalam tenda pengungsian sementara di lapangan sepak bola Seunebok Rawang, Aceh Timur, Aceh, Minggu (2/2/2025).ANTARA FOTOAnak-anak imigran etnik Rohingya asal Myanmar berada dalam tenda pengungsian sementara di lapangan sepak bola Seunebok Rawang, Aceh Timur, Aceh, Minggu (02/02).

Para orang tua juga diberi tambahan Rp200.000 per bulan sebagai duit transportasi sekolah anak mereka. Ada juga asuransi kesehatan. Khusus bagi satu family nan terdiri dari enam orang diberi support dua unit kamar.

Namun biaya sokongan tersebut, belakangan dipangkas.

"Kami dibawa ke tempat penampungan ini secara resmi, bukan kemauan sendiri. Tapi setelah empat tahun ditampung, kenapa tiba-tiba support penginapan dihentikan? Bagaimana kami hidup?" tanyanya penuh cemas.

Kabar jelek soal pemangkasan support itu, terjadi di penghujung 2024.

IOM, kata Hosen, menerapkan kebijakan baru: pengungsi nan tiba di Aceh dan Sumatra Utara sejak 2018 ke atastermasuk diatak bakal memperoleh akomodasi tempat tinggal. Bantuan bulanan kena potong.

Sebaliknya, klaim Hosen, pengungsi Rohingya nan tiba sejak 2018 ke bawah mendapatkan tambahan biaya support dari nan awalnya Rp1.250.000 menjadi Rp1.750.000. Sedangkan untuk anak-anak Rp800.000.

  • Bertanya kepada penduduk Rohingya di Bangladesh - Mengapa mengungsi dari Myanmar hingga tiba di Indonesia?
  • Tentara Myanmar membakar tato dan memberikan urine kepada para tahanan untuk diminum
  • Rantai terputus-putus penyelundupan pengungsi Rohingya, gimana modusnya?

Sejak itulah, sejumlah pengungsi hanya dapat support duit tunai antara Rp700.000 - Rp1.050.000 per orang/bulan. Tak ada pula tambahan duit transportasi, tempat tinggal, maupun asuransi.

Padahal, kata Hosen, kebutuhan hidup di Kota Medan cukup tinggi.

"Jika ditotal sebulan kami sekeluarga dapat Rp4.300.000, duit itu dipakai untuk menyewa rumah Rp1.300.000... selebihnya makan, minum."

"Saya juga tidak bisa mencari tambahan, lantaran dilarang bekerja. Sekarang anak pertama dan kedua saya sudah putus sekolah."

"Mimpi saya anak-anak punya pengetahuan nan tinggi untuk mengubah masa depan keluarga."

'Untuk beli susu anak saja tidak bisa'

Apa nan dialami Hosen sekeluarga, juga dirasakan 88 orang pengungsi Rohingya lainnya di Kota Medan. Dua di antaranya Salam (30 tahun) dan Yaser (27 tahun). Keduanya tiba di Indonesia pada 2012 dan 2022.

Salam termasuk beruntung lantaran tak kena pengurangan bantuan, tapi tidak dengan istrinya nan sampai di sini pada 2020.

Agar tetap bisa tinggal sekamar di tempat penampungan, Salam kudu bayar duit sewa penginapan sekitar Rp1.000.000 per bulan.

Sisa uangnya Rp2.800.000 inilah nan dipakai menghidupi istri beserta dua anaknya. Dia bilang, jumlah duit tersebut tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi istrinya sedang mengandung tujuh bulan.

"Terkadang perih hati saya. Untuk beli susu anak-anak saja tidak bisa," tutur Salam.

Seorang pengungsi Rohingya memperlihatkan isi bilik kos di sekitar Jl. Jamin Ginting, Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu (16/2/2025). Nanda Fahriza BatubaraSeorang pengungsi Rohingya memperlihatkan isi bilik kos di sekitar Jl. Jamin Ginting, Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu (16/02).

Yaser juga sama merananya.

Sekarang istrinya mengandung muda. Mereka menikah di tempat penampungan pada 2022. Ia tiba lebih dulu di Kota Lhokseumawe pada 2020, adapun sang istri dua tahun kemudian.

Gara-gara kebijakan baru IOM, Yaser dan istri kudu angkat kaki dari penampungan dan menyewa kontrakan seharga Rp800.000 per bulan.

Dengan total support Rp1.050.000 per bulan, maka duit nan tersisa hanya Rp200.000 saja nan pasti mustahil mencukup kebutuhan hidup. Ujung-ujungnya dia berutang dan sekarang totalnya sudah Rp6.000.000.

"Istri saya delapan bulan di sini tidak dapat support medis dan makanan, minta bantu istri saya apalagi dia sedang hamil. Kami perlu support lantaran tak bisa bekerja," ucapnya penuh harap.

  • Keluarga saya tewas di depan mata saya - Kisah pilu penyintas pembantaian di Myanmar
  • Militer Myanmar melibas ribuan orang etnis Rohingya, sekarang malah minta bantuan
  • Puluhan pengungsi Rohingya dikhawatirkan tewas di perairan Aceh dalam 'kecelakaan kapal terfatal' - 'Anak saya hilang, saya tak bisa menolongnya'

Kesengsaraan juga dialami Umar, laki-laki nan sudah tiba di Indonesia 13 tahun silam.

Sore itu laki-laki berbadan tegap ini sedang duduk-duduk di laman tempat penginapan kelas melati di Jalan Jamin Ginting.

Umar mengatakan, "kadang merasa seperti dibiarkan meninggal pelan-pelan di tengah ketidakpastian ini".

Pria nan menikah pada 2019 ini dikaruniai empat anak. Seperti halnya Salam, dia mengaku tidak mengalami pemangkasan biaya bantuan. Namun, tidak bagi istrinya nan tiba pada 2018.

Dia bilang setiap bulan kudu bayar duit sewa Rp1.000.000 untuk bisa tetap tinggal di bilik penginapan nan sama.

"Mungkin kami ini mau dibunuh diam-diam, sekarang saja tempat tinggal sudah tidak ada, support juga dikurangi," ungkapnya.

Seorang pengungsi Rohingya menyewa kos tersebut lantaran tidak lagi memeroleh support bilik di tempat penampungan sebelumnya.Nanda Fahriza BatubaraSeorang pengungsi Rohingya menyewa kos tersebut lantaran tidak lagi memeroleh support bilik di tempat penampungan sebelumnya.

Melihat beberapa family temannya sengsara, sejumlah laki-laki muda Rohingya memilih tak menikah lantaran merasa tak punya masa depan nan jelas.

Amran, salah satunya.

Pria 28 tahun ini sampai di Kota Lhokseumawe pada 2020 sendirian, tanpa keluarga. Orang tuanya, tetap berada di kamp pengungsian di Bangladesh. Komunikasi dengan family tersambung lewat telepon.

"Saya tidak mau orang tua saya menyusul ke sini dan juga tidak berencana menikah di sini, lantaran tidak bisa cari makan untuk keluarga. Saya sedih dengan masa depan saya," akunya.

Sementara pemuda lain, Sukur (24 tahun) berbicara masa depannya terasa gelap. Akibat keputusan baru IOM, dia hanya mendapat Rp1.050.000 per bulan.

Uang itu bakal dipotong untuk sewa bilik kos Rp600.000, sehingga tersisa Rp450.000 untuk kebutuhan sehari-hari.

"Uangnya tidak cukup, jadi sehari-hari saya hanya makan sekali. Saya juga tidak tahu apa saya tetap punya angan masa depan alias tidak."

Apa argumen IOM memangkas biaya support untuk pengungsi?

Perwakilan IOM di Jakarta menjelaskan pemotongan biaya support untuk pengungsi ini dilatari oleh keputusan Presiden AS Donald Trump nan menghentikan sementara pendanaan support luar negeri.

Karenanya, IOM mengaku kudu mematuhi kebijakan tersebut dan menerapkannya.

"Keputusan ini sedianya juga berakibat pada staf, kegiatan, dan orang-orang nan kami layani."

"Tapi IOM tetap berkomitmen untuk memberikan support kemanusiaan nan sangat diperlukan dan terus terlibat secara konstruktif dengan donor dan mitratermasuk Amerika Serikatuntuk mempertahankan jasa penting."

Data terbaru UNHCR menyebut ada sekitar 2.800 pengungsi Rohingya di Indonesia. Pada 2025, tercatat ada 400 lebih pengungsi tiba.

UNHCR berbareng IOM mengeklaim telah memberikan support kepada para pengungsi nan mencakup tempat tinggal, sanitasi, jasa kesehatan, makanan, dan barang-barang non-makanan.

Pengungsi Rohingya menghadapi situasi kritis

Pengamat kebijakan hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dafri Agussalim, sangat menyayangkan keputusan Presiden AS Donald Trump nan menghentikan pendanaan support luar negerinya.

Sebab banyak lembaga internasional nan perhatian pada persoalan kemanusiaan, pengungsi, kewenangan asasi manusia, dan demokrasi, berjuntai pada biaya tersebut.

Pendanaan ini pun, kata dia, sebetulnya menjadi upaya diplomasi AS untuk menunjukkan dirinya sebagai "role model" bagi negara-negara lain.

"Tapi dengan penghentian pendanaan ini menunjukkan soft power Amerika Serikat mulai mundur. AS tidak bisa lagi bicara soal kewenangan asasi manusia dan seterusnya, alias mengajari negara-negara lain jika dia sendiri tidak peduli dengan masalah-masalah tersebut," jelas Dafri Agussalim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/02).

Anak-anak dan relawan berpose dengan spanduk Hari Migran Internasional di kamp pengungsi Rohingya di Padang Tiji, provinsi Aceh, Indonesia pada 18 Desember 2024.Getty ImagesAnak-anak dan relawan berpose dengan spanduk Hari Migran Internasional di kamp pengungsi Rohingya di Padang Tiji, provinsi Aceh, Indonesia pada 18 Desember 2024.

"Dan dicabutnya support untuk WHO dan IOM misalnya, itu contoh bahwa AS sudah mengalami degradasi dari sisi moral publik internasional."

Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center UGM ini juga menilai dengan kondisi begini para pengungsi Rohingya sekarang menghadapi situasi kritis. Mereka dan negara-negara nan menampung para pengungsi kudu "kena getahnya".

Di Indonesia, menurut Dafri, bisa saja terjadi kejahatan jika para pengungsi terdesak oleh kebutuhan hidup mereka.

Pasalnya saat ini saja di beberapa wilayah seperti Aceh, masyarakat setempat sudah mulai resah lantaran ada dugaan kasus pelecehan di antara sesama pengungsi.

Selain itu, beberapa pengungsi ketahuan melarikan diri ke Malaysia menggunakan jaringan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Jika Indonesia tidak bisa menangani pengungsi itu dengan baik, maka dampaknya terhadap Indonesia. Di mata internasional, Indonesia dianggap kandas alias lalai dalam mengurus masalah kemanusiaan ini."

"Dan itu tidak baik, tentunya."

  • Rohingya negara mana? Dan tujuh perihal mengenai Rohingya
  • Rohingya Aceh - 'Saat penduduk lokal sorong kapal kami, anak saya meninggal'
  • Pengungsi Rohingya tembus 1.600 orang, kenapa nelayan Aceh menolong mereka?

Dafri Agussalim berbicara sebetulnya ada jalan keluar nan bisa ditempuh pemerintah Indonesia untuk membantu para pengungsi ini, ialah mengupayakan diplomasi dengan negara-negara ASEAN agar mendapatkan support berupa biaya bantuan.

Cara lain, mempekerjakan para pengungsi di sektor-sektor informal seperti nan dilakukan Malaysia.

Meskipun, diakuinya, langkah itu bakal ditentang oleh masyarakat di tengah kondisi banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selain itu secara norma pun, katanya, Indonesia nan belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sehingga tak ada tanggungjawab mengurus pengungsitermasuk memberikan pekerjaan.

"Kendati dari sisi idealisme, enggak ada masalah. Itu bisa memberi ruang kepada pengungsi untuk dapat hidup. Tapi dari sisi praktiknya, pasti bakal ada penolakan dari masyarakat lokal."

Solusi terakhir, menurutnya, dalam keadaan darurat sekarang ini IOM bisa meminta tambahan biaya ke negara-negara pendonor selain AS.

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Selengkapnya