ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Instruksi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, nan melarang kepala wilayah dari partainya untuk mengikuti retret kepemimpinan di Akademi Militer Magelang menuai beragam reaksi. Kebijakan ini tidak hanya menyoroti dinamika politik nasional tetapi juga menggambarkan gimana partai politik tetap mempunyai kendali kuat atas kadernya nan telah menduduki posisi pemerintahan.
Larangan kepala wilayah kader PDIP untuk mengikuti retret nan diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto pada 21-28 Februari 2025 merupakan indikasi bentrok politik terbuka setelah penahanan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (20/2). Penahanan ini memunculkan spekulasi bahwa ada upaya pelemahan PDIP dalam dinamika politik nasional.
Dalam situasi ini, larangan retret dapat dibaca sebagai respons PDIP untuk menegaskan posisi partai di tengah tekanan politik nan meningkat. KPK sebagai lembaga independen tentu mempunyai tanggungjawab dalam penegakan hukum, tetapi dalam konteks politik nan sarat kepentingan, tindakan ini dapat dimaknai lebih dari sekadar proses hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat dari perspektif politik, retret nan diinisiasi oleh Prabowo bisa saja dimanfaatkan untuk membangun aliansi nan lebih erat antara kepala wilayah dan pemerintah pusat, sekaligus melemahkan struktur pengaruh PDIP. Di dalam perihal ini, Megawati berupaya memastikan bahwa partainya tetap solid dan tidak terfragmentasi dalam menghadapi tekanan politik eksternal.
Megawati tampaknya memahami bahwa PDIP kudu tetap menjaga kendali atas kepala daerahnya sebagai corak konsolidasi kekuatan politik melawan 'politisasi hukum' terhadap Hasto. Perlawanan ini semacam akumulasi terhadap kritik PDIP terhadap konstelasi Pilpres 2024. Pada saat nan sama, kritik publik semakin menguat melalui serangkaian tindakan demonstrasi terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Prabowo akhir-akhir ini. Maka di dalam teori hegemoni Antonio Gramsci (1971), PDIP sedang mempertarungkan wacana kontra (counter hegemony) terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Prabowo sebagai kepala negara mempunyai kepentingan untuk merangkul kepala wilayah agar kebijakan nasionalnya dapat diimplementasikan secara efektif. Dalam teori politik negara-partai, sebagaimana dijelaskan oleh Maurice Duverger (1954), terdapat hubungan kompleks antara struktur pemerintahan dan partai politik. Di satu sisi, negara kudu tetap independen dalam menjalankan pemerintahan, tetapi di sisi lain kekuasaan partai terhadap kadernya dapat membatasi elastisitas kepala wilayah dalam mengambil keputusan nan berpihak kepada kepentingan publik.
Posisi Dilematis
Posisi kepala wilayah menjadi medan kontestasi politik; di satu sisi mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan pemerintahan wilayah secara efektif dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Retret nan digagas oleh Presiden Prabowo diklaim bermaksud meningkatkan sinergi antara pusat dan wilayah dalam menjalankan program nasional. Namun, larangan dari PDIP menempatkan kepala wilayah dalam posisi dilematis: apakah mereka kudu mengikuti petunjuk partai sebagai corak loyalitas, ataukah menghadiri retret demi kepentingan roda pemerintahan dan relasi politik dengan presiden?
Dalam sistem politik modern, hubungan antara partai politik dan pemerintahan sering menimbulkan dilema bagi pejabat publik nan juga merupakan kader partai. Angelo Panebianco (1988) dalam bukunya Political Parties: Organization and Power menjelaskan bahwa partai politik mempunyai kontrol nan signifikan terhadap kadernya nan menjabat di pemerintahan. Dalam kasus kepala wilayah PDIP, mereka terjebak antara loyalitas kepada partai nan telah mengusung mereka dan tanggungjawab mereka sebagai pejabat publik nan kudu bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Sebagai kader PDIP, kepala wilayah mempunyai tanggungjawab untuk mengikuti pengarahan partai nan telah mengusung mereka dalam pemilihan lantaran sumber daya utama mereka sering berjuntai pada support partai, baik dalam pencalonan, kebijakan legislasi daerah, maupun dalam menjaga stabilitas politik. Oleh lantaran itu, petunjuk Megawati mempunyai berat nan besar, lantaran ketidakpatuhan dapat berisiko merusak hubungan mereka dengan partai dan apalagi mempengaruhi kesempatan politik mereka pada masa depan.
Dari perspektif ini, kepala wilayah menghadapi tekanan politik internal untuk mematuhi keputusan Megawati, lantaran partai mempunyai sistem disiplin nan dapat diterapkan kepada mereka nan dianggap melanggar garis kebijakan partai. Selain itu, partai politik juga mempunyai pengaruh terhadap penyusunan kebijakan daerah, termasuk alokasi sumber daya dan support dalam parlemen daerah.
Sedangkan di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau (1762) tentang otonomi politik dalam The Social Contract menyatakan bahwa pemimpin wilayah kudu bertindak berasas kepentingan rakyat, bukan hanya tunduk pada elite partai. Dalam konteks Indonesia, otonomi wilayah nan diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 bermaksud memberikan kepala wilayah kewenangan dalam menjalankan pemerintahan secara mandiri, meskipun mereka tetap mempunyai ikatan politik dengan partai. Maka kepala wilayah juga mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan pemerintahan wilayah secara efektif dan bekerja sama dengan pemerintah pusat demi kepentingan rakyat.
Retret nan diinisiasi oleh Presiden Prabowo bermaksud untuk meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta memperkuat kapabilitas kepemimpinan kepala daerah. Jika kepala wilayah menolak untuk berpartisipasi, mereka berisiko kehilangan kesempatan untuk mendapatkan wawasan, strategi, dan kebijakan nan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan wilayah mereka.Kepala wilayah menghadapi dilema antara mematuhi partai alias menjalankan tugasnya sebagai pemimpin publik nan kudu berperan-serta dalam forum nasional demi kepentingan wilayah nan mereka pimpin.
Jika tidak datang dalam retret, mereka dapat dianggap tidak kooperatif dengan pemerintah pusat, nan dapat berakibat pada hubungan politik antara wilayah dan pusat, terutama dalam perihal kebijakan pembangunan dan alokasi anggaran.
Kepala wilayah sering menghadapi bentrok peran antara kepentingan partai dan kepentingan publik. Sebagaimana ulasan Robert K. Merton dalam Social Theory and Social Structure, bentrok peran muncul ketika seseorang mempunyai dua alias lebih peran nan saling bertentangan. Dalam kasus ini, kepala wilayah kudu menyeimbangkan komitmen terhadap partai nan mengusung mereka dengan tugas mereka sebagai pemimpin nan bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara.
Dilema ini mencerminkan dinamika kekuasaan antara partai politik dan pemerintah pusat dalam sistem politik Indonesia. Sedangkan di dalam banyak kasus lain, kepala wilayah sering kudu menavigasi antara dua kepentingan ini, terutama ketika partai mereka berada dalam posisi nan berseberangan dengan pemerintah pusat.
Situasi ini juga menunjukkan gimana partai politik tetap memainkan peran dominan dalam menentukan kebijakan kepala daerah, meskipun dalam sistem demokrasi, kepala wilayah semestinya mempunyai otonomi dalam menjalankan pemerintahan.
Menemukan Keseimbangan
Sejatinya, PDIP tidak perlu menempatkan kepala wilayah sebagai bagian dari instrumen politik terhadap wacana perlawanan pemerintah, terutama ketika berangkaian dengan kasus-kasus hukum. Hal ini justru bakal mendiskreditkan PDIP sebagai partai rakyat, di mana kepala wilayah adalah pemimpin rakyat.
Ke depan, kepala wilayah dari PDIP dan partai lain kudu semakin jeli dalam menavigasi dilema politik ini. Mereka kudu menemukan keseimbangan antara kepatuhan kepada partai dan tanggung jawab mereka kepada rakyat. Hal ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara loyalitas politik dan tanggung jawab kepala wilayah sebagai pemimpin rakyat. Jika tidak, mereka bakal selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni politik nan membatasi ruang mobilitas mereka sebagai pemimpin wilayah nan semestinya mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan golongan alias partai politik tertentu.
Dalam lingkup nan luas, PDIP mempunyai tanggung jawab besar untuk memainkan peran sebagai penyeimbang dalam sistem kerakyatan Indonesia. PDIP mempunyai posisi strategis untuk menjadi oposisi berbareng logika kritis publik nan menguat ketika kebijakan pemerintah dianggap meresahkan. Maka PDIP kudu konsentrasi pada strategi oposisi nan lebih inklusif dan demokratis, memperkuat peran dalam membangun wacana kebijakan pengganti nan lebih solutif bagi kepentingan publik dibandingkan menjadikan kepala wilayah sebagai perangkat politik.
Galang Geraldy, S.IP, M.IP dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu