Puskapol Ui Dorong Penerapan Sistem Proporsional Campuran Di Pemilu, Ini Alasannya

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mendorong penerapan sistem pemilu dengan sistem proporsional campuran. Menurutnya, sistem proporsional terbuka nan saat ini digunakan tetap mempunyai banyak kelemahan.

Hal itu disampaikannya saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) berbareng Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2024).

"Dalam praktiknya rupanya sistem proporsional terbuka itu membikin kelemahan institusionalisasi partai lantaran caleg berkompetisi secara perseorangan secara individual dengan calon-calon lain jadi partai menjadi tiket saja untuk running election seperti itu," kata Delia.

Tak hanya itu, proposional terbuka juga tidak mendukung dalam segi kesetaraan gender. Peluang terpilihnya wanita dalam pemilu sangat mini jika menggunakan proposional terbuka.

"Sistem proporsional terbuka adalah satu sistem nan tidak mendukung kesetaraan kelamin alias kurang kuat dalam mendorong kesetaraan kelamin lantaran di dalam sistem proporsional terbuka kudu berkompetisi secara bebas padahal kita tahu wanita masuk ke dalam proses politik itu belakangan jadi start-nya saja tidak setara tapi kudu berkompetisi bebas," jelas dia.

"Dalam beberapa studi nan kami pelajari di beberapa negara memang sistem proporsional terbuka tidak kompatibel mendorong keterwakilan perempuan," sambungnya.

Oleh karena itu, Puskapol UI mendorong adanya penggunaan sistem proposional campuran.

"Jadi jika Puskapol dari studi nan kami lakukan kita bisa coba exercise untuk opsi pengganti perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilih campuran," imbuh Delia.

Promosi 1

Usulkan Caleg Perempuan Harus Nomor Urut 1 di 30 Persen Dapil

Di sisi lain, Delia Wildianti turut mengusulkan agar calon legislatif (caleg) wanita diusulkan kudu berada di urutan nomor satu. Dia menilai perihal tersebut, dimaksudkan agar tingkat keterpilihan caleg wanita semakin banyak.

"Kita bisa mendorong sebetulnya berangkaian dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen wilayah pemilihan untuk perempuan," kata Delia.

Delia mengatakan, formula itu dimaksudkan untuk mengakselerasi kesetaraan kelamin di legislatif. Sebab, berasas kajian, 70 persen caleg terpilih lantaran berada di urutan pertama.

"Karena studi kami di Puskapol kebanyakan nyaris 70 persen nan terpilih itu adalah nomor urut 1. Meksipun di sistem proporsional terbuka, itu setiap orang bisa dipilih, nomor urut 10 pun bisa terpilih. Tetapi nyatanya studi kami menunjukkan Lebih dari 50 persen nan terpilih adalah nomor urut 1," jelas dia.

Kuota 30 Persen

Dia menjelaskan, saat ini sejatinya sudah ada sistem afirmasi keterwakilan wanita nan merujuk pada kuota minimal 30 persen dalam daftar calon. Namun, penerapan sistem zipper alias penyusunan daftar caleg secara selang-seling antara laki-laki dan wanita belum melangkah maksimal.

"Sekarang kan zipper sistemnya tidak murni yah. Diantara 3 ada 1 perempuan. Kalau zipper sistem murni itu di antara 2 calon ada 1 perempuan," imbuh Delia.

Diketahui, Sistem pemilu di Indonesia selama ini menggunakan model proporsional terbuka, nan memungkinkan banyak partai mendapatkan bangku di parlemen. Namun, sistem ini dianggap menghasilkan fragmentasi politik nan tinggi, membikin jalannya pemerintahan presidensial sering kali terganggu oleh koalisi nan tidak solid.

Seiring dengan meningkatnya kompleksitas politik Indonesia, muncul wacana untuk menerapkan sistem pemilu campuran. Para mahir menilai bahwa sistem ini dapat menjadi solusi untuk menyederhanakan partai politik, memperkuat stabilitas pemerintahan, dan memastikan adanya partai kebanyakan minimal di parlemen.

Apa Itu Pemilu Campuran?

Pemilu campuran merupakan sistem pemilu nan menggabungkan dua komponen penting, ialah sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Di Indonesia, sistem ini disarankan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan representasi politik. Dengan mengangkat sistem ini, diharapkan dapat mengatasi beragam masalah nan muncul dari sistem pemilu nan selama ini diterapkan.

Sistem pemilu campuran tidak mempunyai satu model nan seragam. Proporsi antara sistem proporsional dan mayoritarian dapat bervariasi, misalnya 70-30, 60-40, alias apalagi 50-50, tergantung pada tujuan nan mau dicapai. Hal ini memberikan elastisitas dalam penyesuaian sistem sesuai dengan kebutuhan politik dan sosial di Indonesia.

Beberapa jenis dari sistem pemilu campuran nan dipertimbangkan antara lain adalah Sistem Proporsional Anggota Campuran (MMP) dan Sistem Mayoritas Anggota Campuran (MMM). MMP menghasilkan hasil pemilu nan proporsional secara keseluruhan, dengan beberapa bangku diisi berasas bunyi partai dan sisanya berasas bunyi perseorangan di wilayah pemilihan. Di sisi lain, MMM menghasilkan hasil nan semi-proporsional, dengan mempertahankan tingkat disproporsionalitas dari komponen mayoritarian.

Reporter: Alma Fikhasari

Sumber: Merdeka.com

Selengkapnya