Praktik Biopower Dalam Pembangunan Kependudukan Dan Kesehatan

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

BIOPOWER adalah konsep nan sangat terkenal di era modernitas. Konsep nan diperkenalkan filsuf Prancis Michel Foucault ini menjadi landasan teoretis krusial dalam memahami gimana kekuasaan mengelola kehidupan manusia, khususnya dalam konteks pembangunan kependudukan dan kesehatan.

Biopower merupakan corak kekuasaan nan mengatur populasi melalui kontrol atas tubuh perseorangan (anatomo-politics) maupun populasi (bio-politics) nan berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Negara menggunakan sistem biopolitik untuk mengelola populasi melalui kebijakan publik, sistem kesehatan, dan hukum.

Lebih dari sekadar pengawasan, biopower mencerminkan gimana negara dan lembaga lainnya mendisiplinkan, mengatur, dan mengontrol kehidupan demi mencapai tujuan tertentu, seperti pengendalian populasi, peningkatan kesehatan masyarakat, dan stabilitas sosial.

Pada saat ini, negara-negara di bumi mulai menyadari pentingnya perencanaan populasi dan kesehatan publik sebagai bagian krusial dari pembangunan ekonomi dan sosial. Praktik biopower kemudian menjadi model nan diadopsi secara luas oleh negara di seluruh dunia, dengan memperkuat peran biopower sebagai instrumen pengelolaan kehidupan masyarakat di era modern.

PATOLOGI MODERNITAS

Di Indonesia, penerapan biopower telah dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan kesehatan untuk mengendalikan pandemi penyakit guna melindungi tenaga kerja dan memastikan stabilitas ekonomi. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan praktik ini melalui program kependudukan dan kesehatan nan lebih sistematis.

Program KB, vaksinasi massal, posyandu, dan JKN adalah sebagian contoh izin kependudukan berbasis biopower. Dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, praktik biopower telah membawa akibat positif nan signifikan, seperti melakukan pengendalian penyakit menular nan lebih efektif, peningkatan nomor angan hidup, serta penurunan nomor kematian ibu dan anak.

Sayangnya, dalam praktik biopower selama ini tetap menderita patologi modernitas nan ditandai oleh adanya pelayanan nan belum profesional, diskriminatif, low trust, adanya sikap skeptis, ketimpangan sosial, apalagi menimbulkan pelanggaran kewenangan asasi manusia.

Pengawasan nan dilakukan secara ketat melalui teknologi digital berpotensi menciptakan budaya pengawasan sehingga mengikis privasi dan kebebasan individu. Program KB, nan condong menargetkan perempuan, kian meningkatkan beban kelamin dalam keluarga.

Basis info kesehatan nan terhubung secara digital memungkinkan negara dan lembaga medis dapat memantau status kesehatan perseorangan secara real-time melalui aplikasi digital nan rawan disalahgunakan sebagaimana pernah terjadi di mana info mengenai vaksinasi, riwayat check-in, dan pencarian kontak bocor dan dijual oleh peretas dengan nama Bjorka.

Ketergantungan pada info kesehatan nan terpusat memperbesar akibat bahwa info pribadi dapat disalahgunakan oleh pihak nan tidak bertanggung jawab, sekaligus mencerminkan adanya pelanggaran privasi nan berpotensi membahayakan hak-hak individu.

Dalam konteks ini, penggunaan biopower memerlukan batas etis dan izin nan kuat untuk memastikan bahwa pengendalian kehidupan manusia tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kewenangan asasi.

URGENSI DEKONSTRUKSI

Praktik biopower nan dilakukan selama ini tetap perlu dikritisi. Kebijakan nan ada belum sepenuhnya bisa menjangkau seluruh masyarakat secara merata dan adil. Hasil survei kesehatan Indonesia tahun 2023, misalnya, menunjukkan tetap adanya ketimpangan akses kesehatan di mana 44,8% masyarakat desa mengalami kesulitan mengakses jasa kesehatan. Selain itu, sebanyak 34,5% masyarakat desa belum mempunyai agunan kesehatan.

Segmen masyarakat strata atas mempunyai akses jasa kesehatan nan jauh lebih mudah (65,1%) daripada golongan masyarakat dengan strata sosial ekonomi rendah (32,2%). Realitas ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam akses jasa kesehatan nan tetap terdeterminasi oleh status ekonomi, keterbatasan finansial/anggaran, geografis, maupun infrastruktur.

Saat ini, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan. Data PBB (2024) menunjukkan nomor angan hidup 71,3 tahun, di bawah rata-rata dunia 73,3 tahun. Angka kematian ibu tercatat sebanyak 189 per 100.000 kelahiran, nomor kematian bayi sebesar 16,85 per 1.000 kelahiran, serta prevalensi stunting tetap sekitar 21,5%.

Praktik biopower seumpama pisau bermata dua, efektif dalam meningkatkan kualitas hidup, tetapi berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial dan pelanggaran kewenangan asasi.

Oleh lantaran itu, pemahaman nan lebih kritis terhadap gimana biopower beroperasi dan dampaknya sangat dibutuhkan untuk merancang kebijakan nan lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

Mendekonstruksi biopower bukan berfaedah meniadakan seluruh faedah nan telah dicapai, melainkan memahami ulang mekanisme-mekanisme kekuasaan tersebut untuk menciptakan sistem nan lebih inklusif, adil, dan humanis serta memastikan keseimbangan antara kontrol negara dan kebebasan perseorangan menuju kemandirian.

MENGGAGAS PERUBAHAN

Dekonstruksi praktik biopower, sebagaimana dikontekstualisasikan dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, menjadi kebutuhan mendesak dengan tujuan tidak hanya untuk membongkar praktik kekuasaan nan tidak adil, timpang, serta diskriminatif, tetapi juga mengarahkan ulang kebijakan ke arah nan lebih humanis, adil, dan berbasis kewenangan asasi manusia.

Berbagai hasil studi menemukan bahwa pranata sosial kultural lokal sebagai bagian dari civil society mempunyai peran nan strategis dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, nan dapat menjembatani kesenjangan akses jasa kesehatan. Lembaga budaya dan organisasi berbasis organisasi nan tumbuh dari akar sosial kultural lokal dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan kesehatan dengan langkah nan lebih diterima masyarakat.

Pemanfaatan teknologi perlu dioptimalkan untuk memperluas akses jasa kependudukan dan kesehatan, terutama di wilayah nan susah dijangkau. Telemedicine, aplikasi kesehatan berbasis ponsel, dan perangkat pemantauan kesehatan dapat menjadi solusi efektif.

Pendekatan desentralisasi dalam pengelolaan jasa kependudukan dan kesehatan perlu dioptimalkan untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan spesifik di setiap wilayah.

Akhirnya, diharapkan pembangunan kependudukan dan kesehatan tidak lagi hanya mendasarkan keberhasilannya pada pengendalian populasi semata, tetapi juga pada pembuatan kualitas hidup nan merata, berkelanjutan, dan inklusif, di mana setiap perseorangan mempunyai kesempatan nan sama untuk berkembang secara mandiri.

Selengkapnya