ARTICLE AD BOX

PENELITI Bidang Politik dan Pemerintahan Intelligence and National Security Studies (INSS) Ahmad Rijal menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemungutan bunyi ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 wilayah bakal menimbulkan sejumlah konsekuensi.
Rijal menjelaskan PSU memang kudu dilakukan mengingat putusan MK nan final dan mengikat serta untuk menjaga prinsip keadilan pemilu. Namun, kata ia, di sisi lain, PSU juga membawa banyak konsekuensi.
Konsekuensi pertama adalah tujuan pilkada serentak agar tiap kepala daerah mempunyai masa kedudukan nan sama menjadi tidak tercapai. Kedua, sasaran efisiensi anggaran dengan menyatukan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada juga menjadi meleset.
"Terlebih saat ini Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang gencar melakukan efisiensi anggaran dalam rangka penghematan. Dari sisi pemerintah daerah, ini juga menjadi beban tambahan lantaran kudu ikut menanggung pembiayaan Pilkada nan berasal dari APBD," kata Rijal, melalui keterangannya, Minggu (2/3).
Konsekuensi berikutnya adalah KPUD dan pasangan calon nantinya kudu bekerja keras untuk meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dengan membujuk kembali masyarakat agar mau memilih. Hal ini menjadi tantangan lantaran ada indikasi kelelahan alias kejenuhan pemilih (voter fatigue) akibat penyelenggaraan pilkada nan berjalan di tahun nan sama dengan pemilu nasional.
"Dalam banyak daerah, tingkat partisipasi condong menurun dibandingkan jenis pilkada sebelumnya. Adanya PSU dikhawatirkan bakal semakin menggerus nomor partisipasi pemilih, sehingga siapapun nan menang bakal mengalami penurunan legitimasi," katanya.
Lebih lanjut, Rijal menyayangkan penyelenggara pemilu di beberapa wilayah nan kudu melakukan PSU akibat inkompetensi tidak dapat dikenai balasan pidana, selain jika terbukti menerima suap dari calon alias partai politik untuk mengakali peraturan. Ia menilai meski tidak terbukti menerima suap, PSU jelas merugikan finansial negara.
"Dana nan digunakan untuk PSU semestinya dapat dialokasikan untuk memaksimalkan pelayanan dasar bagi penduduk negara, nan selama ini tetap banyak mengalami keterbatasan di beragam daerah," katanya.
Maka dari itu, Rijal berambisi DKPP dapat bertindak tegas untuk memastikan bahwa pilkada melangkah sesuai dengan prinsip kejujuran dan keadilan. Ia menilai perlu hukuman tegas untuk memberikan pengaruh jera sehingga menjadi contoh bagi penyelenggara lainnya agar tidak main-main.
"Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap proses kerakyatan dapat tetap terjaga. Semoga ke depan, sinergi antara MK, Komisi II DPR RI, DKPP, KPU, dan Bawaslu semakin kuat demi mewujudkan pemilu dan pilkada nan lebih berkualitas," katanya.
Selain itu, untuk mencegah kecurangan pemilu, ke depan perlu dibentuk satuan tugas (satgas) unik untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap praktik politik uang. Kepolisian, bekerja sama dengan KPU dan para pemangku kepentingan lainnya, kudu memastikan bahwa kejadian politik duit tidak lagi menjadi perihal nan biasa dalam setiap kontestasi politik.
"INSS mengapresiasi keberanian MK dalam mengungkap adanya kecurangan nan berkarakter terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) serta keputusannya nan memerintahkan PSU sebagai corak penegakan keadilan pemilu," pungkasnya. (Faj/M-3)