Ombudsman Sentil Kebijakan Impor Daging Era Jokowi, Tunjuk Masalah Ini

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, leopardtricks.com - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengkritisi kebijakan impor daging kerbau nan diinisiasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya. Menurut dia, kebijakan tersebut sejak awal mempunyai tujuan nan kurang tepat dan sekarang justru menimbulkan distorsi di pasar daging merah.

"Dulu Pak Jokowi nan menginisiasi impor daging kerbau. Mengapa daging kerbau itu diimpor? Karena mau masyarakat kita ini bisa membeli daging merah. Sehingga daging merah itu kudu murah. Nah, jika menurut saya ini nggak pas," kata Yeka kepada CNBC Indonesia, Selasa (22/4/2025).

Ia menjelaskan, di beragam negara, daging merah memang merupakan komoditas dengan nilai tinggi, sehingga upaya menurunkannya lewat impor dinilai tidak realistis. "Steak itu di mana-mana pasti mahal, di Australia, Jepang, Eropa, Amerika. Jadi tidak bisa dipaksakan murah," lanjutnya.

Yeka juga mempertanyakan argumen penyediaan protein lewat daging merah, sementara tetap ada sumber protein lain nan lebih terjangkau. "Kalau tujuannya protein, tetap ada telur, ikan, dan ayam nan jauh lebih murah," tegas dia.

Fakta di lapangan menunjukkan, katanya, meski daging kerbau diimpor, masyarakat kelas menengah ke bawah tetap kesulitan menjangkaunya.

"Jatuhnya tetap mahal, masyarakat tetap tidak bisa beli. Tujuan kebijakan itu tidak tercapai," ujarnya.

Akibatnya, pasar daging merah mengalami distorsi. Yeka menyebut, kondisi ini merugikan dua pihak sekaligus, ialah peternak lokal dan konsumen.

"Peternak dirugikan lantaran kalah bersaing, konsumen dirugikan lantaran tetap tidak mendapat nilai nan layak," kata dia.

Yeka menegaskan, impor daging kerbau sebaiknya diarahkan unik untuk mendukung industri pengolahan daging, bukan konsumsi rumah tangga. Hal ini krusial agar industri dalam negeri dapat bersaing dengan negara lain, seperti Malaysia, nan sudah lebih dulu menggunakan daging kerbau India sebagai bahan baku murah.

"Kalau tidak ada daging kerbau impor, industri pengolahan daging kita bakal kalah saing. Sosis dan nugget dari Malaysia jauh lebih murah lantaran bahan bakunya murah," jelasnya.

Lebih lanjut, Yeka juga menyoroti persoalan efisiensi dalam rantai impor. Harga daging kerbau dari India nan semestinya hanya Rp35.000-Rp45.000 per kilogram (kg), melonjak hingga Rp80.000 apalagi Rp100.000 per kg di tingkat konsumen.

"Ini menunjukkan ada masalah dalam tata niaga. Ada pihak nan bermain," tukasnya.

Oleh lantaran itu, Yeka mendorong transparansi dalam tata kelola impor. Ia menilai pemerintah tidak perlu lagi menjadi pelaku langsung dalam importasi. Peran tersebut cukup dilakukan oleh swasta, sementara pemerintah bekerja mengawasi dan mengontrol.

"Bulog tidak perlu lagi impor. Serahkan ke swasta nan betul-betul punya industri pengolahan. Pemerintah cukup monitor dan kontrol kuotanya," ujar Yeka.

Namun, dia tetap mengingatkan agar izin impor hanya diberikan kepada pelaku upaya nan betul-betul beraksi di sektor pengolahan daging, bukan pengusaha "karbitan" nan hanya mencari untung dari kuota.

Yeka menyimpulkan, tujuan utama impor kudu diarahkan untuk mendorong efisiensi dan daya saing upaya dalam negeri. "Ujungnya adalah agar tata kelola upaya kita efisien, berkekuatan saing tinggi, dan masyarakat bisa menjangkau kebutuhan dasarnya, terutama di tengah potensi krisis global," pungkasnya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Undang Jokowi Buka Bersama di Istana

Next Article Prabowo: Ada nan Mau Pisahkan Saya dan Jokowi

Selengkapnya