Membedah Tantangan Dan Implikasi Hilirisasi Mineral Di Indonesia

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Membedah Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) di Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Minggu (7/7/2024)(ANTARA/ANDRI SAPUTRA)

HILIRISASI menjadi salah satu penopang untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menunjukkan komitmen dalam menjalankan program hilirisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kementerian Investasi beralih bentuk menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi, serta pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional mendukung langkah tersebut.

Selain itu, pemerintah  tengah mempersiapkan pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), nan bakal berkedudukan dalam mendanai beragam proyek hilirisasi. 

Dengan faedah nyata seperti surplus neraca perdagangan dan pengaruh berganda bagi industri, hilirisasi diharapkan dapat mendukung sasaran pertumbuhan ekonomi 8% di tengah ketidakpastian geopolitik global. Namun, di kembali optimisme ini, terdapat tantangan dan implikasi dalam penerapan hilirisasi. 

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menyampaikan bahwa hilirisasi membuka kesempatan investasi  lebih besar dan berkontribusi pada pembuatan lapangan kerja. Studi menunjukkan, investasi sebesar 38 miliar dolar AS di industri tembaga menciptakan lebih dari 250 ribu lapangan kerja baru, dengan potensi ekspor mencapai 282 juta dolar AS.

Namun, lanjut Esther, tantangan nan dihadapi tidak sedikit. Salah satunya, ketergantungan pada investasi asing, serta keterbatasan support finansial domestik. “Di Indonesia, perbankan tetap menerapkan suku kembang tinggi dan mensyaratkan agunan aset nan cukup berat bagi pelaku upaya lokal,” ujar Esther dalam obrolan nan berjudul “Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia” nan diselenggarakan di Jakarta, (3/2).

Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI), Nur Kholis, menambahkan, penerapan hilirisasi tidak luput dari tantangan. Infrastruktur di beberapa wilayah tetap perlu ditingkatkan agar mendukung proses produksi dan distribusi. 

Selain itu, pengembangan tenaga kerja lokal nan mempunyai keahlian unik dalam industri pengolahan juga menjadi agenda krusial untuk memastikan keberlanjutan program ini.

“Salah satu aspek kunci keberhasilan hilirisasi adalah kesiapan tenaga kerja. Jika kita mau mencapai Indonesia Emas 2045, maka investasi dalam pendidikan vokasional dan training tenaga kerja berbasis industri kudu menjadi prioritas,” ucap Nur Kholis.

Pada kesempatan nan sama, pengamat ekonomi dari The Reform Initiative, Wildan Syafitri, menyoroti pentingnya kebijakan inklusif dan kerjasama lintas sektor dalam mendukung hilirisasi industri. 

Menurutnya, hasil riset pihaknya mengenai pengharmonisan hubungan antara pekerja asing, pekerja domestik, dan masyarakat lokal dalam konteks investasi dan hilirisasi di Batam dan Konawe, menunjukkan bahwa meskipun kedua wilayah mempunyai potensi besar, tantangan sosial dan ketenagakerjaan tetap menjadi rumor utama nan perlu diselesaikan. 

“Di Batam, hilirisasi pasir silika menghadapi bentrok lahan, ketimpangan antara pekerja asing dan domestik, serta dinamika sosial budaya masyarakat Melayu. Sementara itu, di Konawe, hilirisasi nikel mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesenjangan ekonomi baru nan memicu bentrok sosial,” tambahnya.

Selain itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB), Abdul Ghofar, menekankan pentingnya pendekatan hilirisasi nan lebih komprehensif dalam melibatkan masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Menurutnya, perusahaan nan menjalankan hilirisasi perlu mengedepankan perbincangan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti training keterampilan, peningkatan akomodasi kesehatan, perbaikan infrastruktur, serta pelestarian budaya lokal. 

“Pola kemitraan nan diharapkan masyarakat dan seluruh stakeholder di wilayah penelitian adalah CSR eksplisit, CSR Implisit, dan rantai pasok. CSR definitif berfokus pada penyediaan kebutuhan dasar dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat lokal. Sedangkan rantai pasok berfokus pada kerja sama upaya nan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara jangka panjang,” jelasnya.

Sementara itu, RIG Leader for AI Geospatial Economics BINUS University, Alexander Agung Santoso Gunawan, menyampaikan bahwa Model Diplomasi Investasi dinilai dapat menjadi strategi efektif bagi Indonesia dalam memperkuat kerja sama bilateral, regional, dan multilateral di sektor hilirisasi investasi. Model ini menciptakan nilai tambah industri nasional sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi.

“Pemanfaatan mahadata (big data) dan kepintaran buatan (AI) dalam menyusun Peta Hilirisasi turut memperkuat efektivitas model ini. Teknologi tersebut memungkinkan kajian nan lebih jeli dan adaptif, sehingga menghasilkan rekomendasi kebijakan nan sesuai dengan dinamika pasar dan kebutuhan industri,” pungkasnya.

Hilirisasi mineral merupakan strategi krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri nasional. Keberhasilannya tergantung pada kesiapan infrastruktur, support finansial, peningkatan keahlian tenaga kerja, serta kebijakan inklusif bagi masyarakat lokal. Pemanfaatan teknologi dan pendekatan diplomasi dapat mempercepat realisasi hilirisasi secara berkelanjutan. (H-2)

Selengkapnya