ARTICLE AD BOX

DALAM bumi pendidikan, daya juang merupakan karakter krusial nan kudu ditanamkan sejak dini. Anak-anak nan mempunyai semangat pantang menyerah condong lebih siap menghadapi tantangan, baik dalam bumi akademik maupun kehidupan sehari-hari. Namun, pertanyaannya ialah: apakah sekolah, khususnya guru, telah memainkan peran optimal dalam membangun daya juang siswa? Atau justru sistem pendidikan kita tetap condong menekankan pencapaian akademik tanpa memberi ruang bagi pembentukan karakter tersebut?
PERAN GURU DAN SEKOLAH
Guru tidak hanya bekerja menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga sebagai motivator nan bisa membangkitkan semangat belajar siswa. Sebuah penelitian oleh Duckworth & Seligman (2005) menunjukkan bahwa ketekunan dan kegigihan lebih menentukan kesuksesan akademik dibandingkan IQ semata. Apabila pembimbing terlalu menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik tanpa menanamkan semangat juang, mereka bakal melewatkan kesempatan untuk membentuk siswa handal dan siap menghadapi tantangan hidup.
Di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Lhokseumawe, beragam program diterapkan untuk membantu siswa mengembangkan karakter juang, baik melalui pembelajaran akademik maupun aktivitas nonakademik nan mendukung perkembangan mental dan emosional mereka. Salah satu pendekatan nan diterapkan adalah memberikan tantangan berjenjang kepada siswa dalam proses belajar. Siswa diberikan tugas dengan tingkat kesulitan bertahap, sedikit di atas keahlian mereka saat ini, sehingga mendorong mereka untuk berupaya lebih keras dalam menyelesaikannya.
Dengan langkah itu, siswa terbiasa menghadapi kesulitan dan belajar untuk tidak menyerah dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, siswa dibiasakan untuk menyelesaikan tugas secara berdikari seperti mengikat tali sepatu sendiri, membuka tutup tumbler, serta membersihkan tempat makan setelah selesai makan. Kebiasaan-kebiasaan mini itu membantu mereka membangun rasa percaya diri serta kesiapan menghadapi tantangan lebih besar di masa depan.
Selain memberikan tantangan, SSB Lhokseumawe juga menanamkan konsep pola pikir berkembang (growth mindset) dalam proses pembelajaran. Konsep itu, nan dikembangkan Carol S Dweck, menekankan bahwa kepintaran dan keahlian seseorang tidaklah tetap, tetapi dapat berkembang melalui upaya dan ketekunan. Siswa diajarkan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari proses belajar nan memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang. Dengan memahami bahwa keahlian dapat ditingkatkan dengan kerja keras dan strategi tepat, siswa bakal lebih berani menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah ketika menemui kesulitan. Guru di sekolah itu lebih menekankan pada proses nan dilalui siswa, bukan hanya hasil akhirnya.
Untuk mendukung perihal itu, sekolah memberikan apresiasi terhadap upaya nan dilakukan siswa melalui pembagian sertifikat positif. Tidak seperti penghargaan nan hanya diberikan kepada siswa dengan nilai akademik tinggi, sertifikat positif ini diberikan kepada seluruh siswa sebagai corak apresiasi terhadap proses belajar nan mereka jalani. Dengan langkah tersebut, anak-anak memahami bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari nilai akhir, tetapi juga dari perjuangan dan konsistensi mereka dalam belajar.
Selain aspek akademik, membangun hubungan emosional antara pembimbing dan siswa juga menjadi perhatian utama di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe. Rasa kondusif dan nyaman di lingkungan sekolah mendorong siswa untuk lebih berani menghadapi tantangan. Salah satu aktivitas nan diterapkan adalah happy morning, sesi pagi hari nan mana siswa dan pembimbing duduk berbareng membentuk lingkaran untuk berbagi cerita serta mendapatkan motivasi.
Kegiatan itu tidak hanya membantu meningkatkan kedekatan antara siswa dan guru, tetapi juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengungkapkan emosi mereka dalam lingkungan nan mendukung. Selain itu, sekolah juga mengadakan aktivitas Apresiasi potensi diri (APD) memberikan ruang bagi siswa untuk menampilkan talenta dan minat mereka di hadapan penduduk sekolah. Melalui aktivitas itu, siswa diajarkan untuk lebih percaya diri dalam menunjukkan kemampuannya dan berani menghadapi tantangan baru.
PERAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN
Daya juang tidak sekadar berfaedah berupaya keras untuk menang, tetapi juga kesiapan untuk menghadapi kegagalan, belajar dari kesalahan dan terus mencoba. Pada usia sekolah dasar, anak-anak berada dalam fase golden age nan mana karakter dan kebiasaan mereka mulai terbentuk.
Guru sebagai pendidik utama di sekolah mempunyai tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa selain akademik, anak juga dibekali dengan mentalitas pantang menyerah. Namun, peran pembimbing tidak bisa berdiri sendiri; lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat juga mempunyai kontribusi besar dalam membentuk karakter anak.
Selain peran guru, orangtua juga mempunyai tanggung jawab dalam membentuk daya juang anak. Studi dari Stanford University (Dweck, 2006) menemukan bahwa anak-anak nan dibesarkan dalam lingkungan nan menghargai upaya daripada hasil akhir condong mempunyai daya juang lebih tinggi. Artinya, jika orangtua hanya menekankan nilai ujian tanpa memberikan apresiasi terhadap proses belajar, anak bakal lebih mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.
Lingkungan nan mendukung juga berkedudukan dalam membangun karakter anak. Sekolah semestinya menciptakan atmosfer nan memungkinkan siswa untuk belajar dari kegagalan tanpa rasa takut. Sayangnya, sistem pendidikan kita tetap terlalu berorientasi pada hasil sehingga sering kali anak merasa takut untuk mencoba lantaran takut gagal. Perubahan sistem pertimbangan nan lebih berbasis proses dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah ini.
Pembentukan daya juang pada anak bukan hanya menjadi tugas pembimbing di sekolah, melainkan juga memerlukan support dari orang tua dan lingkungan sekitar. Pendidikan nan baik bukan hanya tentang nilai akademik, melainkan juga tentang membentuk mentalitas nan siap menghadapi tantangan hidup.
Oleh lantaran itu, sudah saatnya kita merefleksikan kembali apakah sistem pendidikan kita betul-betul mendukung tumbuhnya daya juang anak alias justru membikin mereka takut untuk gagal. Jika kita mau menciptakan generasi nan siap menghadapi masa depan, pembentukan karakter nan handal kudu menjadi prioritas utama dalam pendidikan.
Melalui beragam program dan aktivitas nan diterapkan di SSB Lhokseumawe, siswa memperoleh pendidikan akademik berbobot sekaligus penguatan karakter nan kokoh. Sekolah ini tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar nan mendorong anak untuk berupaya tanpa rasa takut bakal kegagalan.
Dengan pendekatan nan tepat, siswa dapat tumbuh menjadi perseorangan nan tidak mudah menyerah, percaya diri, dan selalu berupaya untuk mencapai nan terbaik dalam setiap langkah kehidupannya.