Memaknai Diplomasi Senyum Beijing

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Memaknai Diplomasi Senyum Beijing (ANTARA)

TIONGKOK memulai sebuah pendekatan baru dalam diplomasinya dengan meluncurkan diplomasi senyum (smile diplomacy). Secara perlahan Beijing mencabut diplomasi wolf warrior nan telah mengemuka beberapa tahun belakangan, khususnya selama dan pascapandemi covid-19. Dengan diplomasi senyum ini, Beijing tampaknya mau meninggalkan gambaran jelek atas pendekatan agresifnya dengan mengangkat kebijakan nan lebih ramah. Apa nan mendasari perubahan ini dan pelajaran apa nan dapat dipetik oleh Indonesia?

DARI WOLF WARRIOR KE DIPLOMASI SENYUM

Hubungan internasional sering kali mencerminkan dinamika nan kompleks, dipengaruhi oleh aspek geopolitik, ekonomi, dan apalagi budaya. Semasa pandemi covid-19, Tiongkok selalu dituduh sebagai sumber musibah global. Atas tuduhan itu, di satu sisi Tiongkok menggelorakan diplomasi kesehatan, sebuah diplomasi publik nan timely, nan mengenai dengan vaksin dan perangkat kesehatan dari Tiongkok nan mudah diakses oleh negara berkembang.

Di sisi lain, Tiongkok juga menjalankan strategi diplomasi dengan istilah wolf warrior dalam merespons semua tuduhan nan dialamatkan kepadanya. Strategi ini terinspirasi movie tindakan Tiongkok nan populer, Wolf Warrior, nan menggambarkan semangat nasionalisme dan keberanian menghadapi tantangan.

Secara substantif, merujuk pada style diplomasi agresif, ditandai oleh retorika keras, jika perlu konfrontatif, dalam menanggapi kritik internasional. Pendekatan ini digunakan terutama untuk menegaskan posisi Beijing di tengah meningkatnya ketegangan global, termasuk tuduhan diskriminatif terhadap Beijing seiring dugaan bahwa covid-19 berasal dari negara tersebut.

Namun, strategi terakhir ini dipandang menimbulkan gambaran negatif. Persepsi dunia terhadap Beijing dalam beberapa perihal memburuk, terutama di negara-negara Barat, di mana Beijing dianggap semakin tidak berkawan dan ekspansionis.

Dalam konteks ini, Beijing mulai mengubah arah menuju ‘diplomasi senyum’, sebuah strategi nan lebih ramah dan inklusif. Langkah ini terlihat dalam beragam inisiatif, termasuk pembukaan hubungan budaya dengan Korea Selatan, pemberian akses bebas visa untuk beberapa negara, serta partisipasi aktif dalam aktivitas internasional seperti Asian Winter Games di Harbin. Pergeseran dari diplomasi wolf warrior ke diplomasi senyum mencerminkan upaya Beijing untuk memperbaiki gambaran globalnya.

FAKTOR DAN DAMPAK

Pendekatan baru ini dipicu oleh aspek eksternal, salah satunya pertemuan APEC nan berturut-turut terjadi di Korea Selatan pada 2025 dan di Beijing pada 2026. Hubungan nan lebih selaras dengan negara-negara tetangga seperti Korea Selatan, Jepang, dan India menjadi prioritas untuk memastikan kesuksesan diplomasi multilateral APEC tercapai.

Selain itu, kebijakan America First di bawah Donald Trump, nan menempatkan Beijing sebagai ‘tokoh jelek rupa’, turut mendorong Beijing untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangga. Memberikan akses bebas visa bagi penduduk negara-negara ini adalah bagian dari strategi diplomasi senyum untuk menciptakan hubungan nan lebih erat dan saling menguntungkan.

Contoh lainnya adalah kebijakan baru Tiongkok terhadap pelarangan masuknya Gelombang Korea (Hallyu). Setelah bertahun-tahun menerapkan larangan tak resmi terhadap ekspor budaya Korea Selatan akibat ketegangan mengenai sistem pertahanan rudal THAAD, Beijing sekarang menunjukkan keterbukaan lebih besar terhadap budaya pop Korea.

Pada Februari 2025, Presiden Xi Jinping berjumpa dengan Wakil Ketua Majelis Nasional Korea Selatan, Woo Won-shik, menyoroti pentingnya memperkuat hubungan budaya kedua negara. Pertemuan ini diikuti dengan pengiriman delegasi budaya level privat dari Beijing ke Seoul, nan menjadi langkah awal menuju pembukaan penuh kerja sama budaya pada Mei mendatang. Selain itu, keterlibatan Korea Selatan dalam Asian Winter Games di Harbin menjadi sinyal positif lain dari membaiknya hubungan kedua negara.

Diplomasi senyum tidak hanya bermaksud memperbaiki gambaran internasional Beijing, tetapi juga untuk memperkuat pengaruhnya sebagai pemimpin dunia nan lebih ramah dan inklusif. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Beijing siap beradaptasi dengan dinamika dunia nan terus berubah, sembari tetap mempertahankan kepentingannya.

PELAJARAN UNTUK INDONESIA

Beberapa pelajaran dapat diambil dari perubahan ini. Pertama, elastisitas dalam strategi diplomasi adalah kunci. Beijing menunjukkan bahwa pendekatan nan telah lama digunakan pun dapat diubah untuk menyesuaikan kebutuhan geopolitik dan ekonomi.

Namun, krusial untuk diingat bahwa elastisitas ini kudu diimbangi dengan kewaspadaan. Negara-negara, termasuk Indonesia, kudu selalu bersiaga dan antisipatif terhadap kesempatan perubahan kebijakan dari pihak mana pun, terutama dari negara besar seperti Tiongkok, nan berpengaruh signifikan di area dan dunia. Singkatnya, selalu ada ruang untuk melakukan penyesuaian dan sinkronisasi kebijakan terhadap Beijing demi menjaga stabilitas dan kepentingan nasional.

Kedua, kebangkitan hubungan budaya antara Tiongkok dan Korea Selatan sejatinya membuka kesempatan baru. Sebagai negara nan terletak di area nan sama, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat kerja sama budaya dan ekonomi dengan kedua negara, menciptakan sinergi nan saling menguntungkan.

Pergeseran pendekatan diplomasi Tiongkok nan lebih ramah dan inklusif menciptakan kesempatan perbincangan nan lebih luas di kawasan.

Negara-negara di kawasan, selain menyambut baik pendekatan baru Tiongkok, juga perlu tetap berhati-hati. Senyum tulus dan senyum menipu sering kali sama manisnya.

Selengkapnya