ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan memisahkan pemilu nasional dan daerah. Khozin menyinggung MK sekarang nan sudah beralih bentuk sebagai lembaga ketiga perumus undang-undang, selain DPR RI dan Presiden.
Hal itu disampaikan Khozin dalam obrolan Fraksi PKB di DPR RI dengan tema "Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK", Jumat (4/7/2025). Khozin menilai kewenangan MK sekarang tak hanya sebagai pengetes dan penafsir konstitusi (the guardian of constitution).
"Perlu kita pahami berbareng jika MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Pertanyaannya kemudian ketika MK dengan dalih menjaga agar konstitusi tetap adaptif dengan dinamika jaman (living constitution) lampau bisa beralih bentuk sebagai lembaga ketiga setelah presiden dan DPR menjadi perumus undang-undang?" kata Khozin dalam diskusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengingatkan kudu ada penegasan mengenai kegunaan dan peran MK. Menurutnya, jangan sampai MK menghasilan keputusan nan kontroversial dan berujung pada pembatalan undang-undang nan telah disahkan oleh DPR RI.
"Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai perihal ini tidak ada kepastian hukum," ujar Khozin.
"Kalau memang MK beralih bentuk menjadi lembaga ketiga perumus UU, ya sudah kita lakukan konstitusional engineering mengenai tugas pokok dan tusi dari MK," tambahnya.
Legislator PKB ini menilai putusan 135/PUU-XXII/2024 tentang keserentakan pemilu menjadi paradoks dari putusan nomor 55/2019 nan ditetapkan MK sendiri. Ia menyebut putusan pemilu nan dipisah tak bisa langsung diterapkan oleh pemerintah.
Khozin juga mewanti-wanti jangan sampai putusan MK justru melanggar konstitusi. Ia menilai tak ada ruang kepastian norma di sana.
"Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam perihal ini oleh pemerintah lantaran berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama nan sering kita pahami di dalam Pasal 22E ayat 1 maupun ayat 2 dan Pasal 18 ayat 3, dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa penyelenggaraan pemilu itu dilaksanakan 5 tahun sekali," kata Khozin.
"Terus kita mau tafsiri seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan langkah menabrak konstitusi. Ini kan nggak bakal berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian norma di sini," imbuhnya.
(dwr/ygs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini