ARTICLE AD BOX

Kejaksaan Agung (Kejagung) membeberkan peran tujuh tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) pada periode 2018 hingga 2023. Rasuah ini berasal dari pemenuhan minyak mentah dalam negeri nan semestinya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi nan berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri.
"Namun berasas kebenaran investigasi nan didapat, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir alias OH nan dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya," kata Qohar kepada wartawan dikutip Selasa, 25 Februari 2025.
Akibatnya, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan langkah impor. Qohar mengatakan saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan beragam fakta.
Pertama, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal nilai nan ditawarkan oleh KKKS tetap masuk range nilai alias nilai perkiraan sendiri (HPS). Kedua, produksi minyak mentah KKKS ditolak dengan argumen spesifikasi tidak sesuai dengan spek.
"Namun faktanya minyak mentah bagian negara tetap sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah alias dihilangkan kadar merkuri alias sulfurnya," ungkap Qohar.
Qohar menyebut atas tindakan itu kerja sama antara pemerintah dengan pihak KKKS untuk kerja penyelenggaraan ini terbagi. Ada bagian minyak nan sebagian bagian KKKS dan sebagian bagian negara alias Pertamina. Namun, kualitasnya sama berasas presentase nan disepakati.
Penolakan itu lah menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
"Harga pembelian impor tersebut andaikan dibandingkan dengan nilai produksi minyak bumi dalam negeri terdapat komparasi komponen nilai nan sangat tinggi alias berbeda nilai nan sangat signifikan," ucap Qohar.
Qohar menerangkan saat KKKS mengekspor bagian minyaknya lantaran tidak dibeli oleh PT Pertamina, maka pada saat nan sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang. Selanjutnya, untuk aktivitas pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh kebenaran adanya perbuatan jahat alias mens rea antara penyelenggaraa negara.
"Yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF berbareng dengan demut alias agen ialah tersangka MK, DW, dan GRJ," kata Qohar.
Para tersangka melakukan kesepakatan nilai bermaksud untuk mendapatkan untung secara melawan norma dan merugikan finansial negara. Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan alias actus reus pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.
"Sehingga, seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan langkah mengkondisikan pemenangan DMUT alias agen nan telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan nilai tinggi melalui spot nan tidak memenuhi persyaratan," katanya.
Qohar membeberkan cara-cara kotor para pelaku. Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan demut alias agen minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Kemudian, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP, untuk dapat memperoleh nilai tinggi pada saat syarat belum terpenuhi. Lalu, mendapatkan persetujuan dari kerabat SDS untuk impor minyak mentah dan dari tersangka RS untuk produk kilang.
Sementara itu, dalam pengadaan produk kilang nan dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian alias pembayaran untuk RON 92. Padahal, sebenarnya nan dibeli adalah RON 90 alias lebih rendah. Kemudian, dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92. Hal tersebut tidak diperbolehkan alias bertentangan dengan ketentuan nan ada.
Selanjutnya, saat dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh kebenaran adanya markup perjanjian shipping alias pengiriman nan dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Sehingga, negara mengeluarkan fee sebesar 13-15% secara melawan hukum.
"Sehingga, tersangka MKAR mendapatkan untung dari transaksi tersebut," ucap Qohar.
Ia melanjutkan saat kebutuhan minyak dalam negeri kebanyakan diperoleh oleh produk impor secara melawan hukum, komponen nilai dasar nan dijadikan referensi untuk penetapan nilai indeks pasar, bahan bakar minyak untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal alias lebih tinggi.
"Sehingga, dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi bahan bakar minyak setiap tahun melalui APBN," pungkas Qohar.
Daftar tujuh tersangka
1. Riva Siahaan (RS), selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
2. Sani Dinar Saifuddin, selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
3. Yoki Firnandi (YF), selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping
4. Agus Purwono (AP), selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International
5. Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa
6. Dimas Werhaspati, (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
7. Gading Ramadhan Joedo (GRJ), selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak
Ketujuh orang ditetapkan tersangka usai gelar perkara pada Senin, 24 Februari 2025. Mereka langsung ditahan
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) alias Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP. (Yon/P-1)