ARTICLE AD BOX

KOALISI Barisan Guru Indonesia (Kobar Guru Indonesia) nan terdiri dari Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PB PGSI) , Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, Persatuan Purnabakti Pendidik Indonesia (P3I), Perkumpulan Guru Sekolah dan Madrasah Swasta Jawa Tengah, Perkumpulan Pendidik Geografi Nusantara (Pendiks Geonusa), Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI Lampung) memberikan tanggapan mengenai kebijakan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang petunjuk teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) nan menetapkan satuan pendidikan menengah dapat menerima calon Murid sebanyak-banyaknya 50 Murid disesuaikan dengan hasil kajian info luas ruang kelas nan bakal digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Soeparman Mardjoeki Nahali, mengatakan bahwa dirinya memahami niat baik Gubernur Jawa Barat nan berinisiatif untuk melakukan pencegahan terhadap kasus anak putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Akan tetapi upaya pencegahan anak putus sekolah semestinya dilakukan dengan memperhatikan sejumlah patokan nan ada dan memperhatikan efektivitas pada kondisi belajar anak dan kondisi kerja guru.
“Menetapkan jumlah maksimum 50 siswa per kelas tidak sejalan dengan prioritas rasio siswa dan pembimbing nan diatur didalam standar pengelolaan dan sistem penerimaan siswa baru itu sendiri. Idealnya jumlah siswa jenjang pendidikan menengah hanya 36 siswa per kelas,” ungkapnya, Sabtu (5/7).
Masalah anak putus sekolah sebenarnya menjadi bukti bahwa selama ini pemerintah belum sepenuhnya serius menyelesaikan kewenangan anak atas pendidikan. Sementara kebutuhan bakal sekolah setiap tahun semakin bertambah. Soeparman menyarankan agar pemerintah mengefektifkan koordinasi dengan sekolah swasta dalam SPMB terpadu.
“Karena jika mendirikan sekolah baru alias ruang kelas baru bakal memerlukan waktu nan cukup lama, maka salah satu langkah terbaik untuk mengatasi kurangnya daya tampung siswa baru adalah dengan melibatkan sekolah swasta. Pemerintah tinggal memastikan kerja sama dengan sekolah swasta untuk menanggung pembiayaan bagi siswa nan disalurkan ke sekolah swasta maka persoalan daya tampung bakal teratasi. Sekolah swasta bakal menyambut baik kerja sama ini,” tuturnya.
Mengenai tidak efektifnya pembelajaran pada kelas nan berukuran besar, Soeparman mencontohkan persoalan nan sama nan pernah terjadi di Australia. Organisasi pembimbing Queensland Teachers Union (QTU) pernah memublikasikan tindakan massa pembimbing di Australia nan menuntut pemerintahnya untuk mengurangi ukuran kelas.
Dalam rilisnya tercatat bahwa sejak tahun 1950-1970 QTU sukses menurunkan ukuran kelas dari 50 menjadi 40 murid. Tahun 1971, 1974 dan 1975 menjadi 36, 34 dan 32 murid. Tahun 1979 sampai 2003 menjadi 30 siswa per kelas. Sampai sekarang ukuran kelasnya berkisar 25-28 murid.
“Tuntutan QTU agar pemerintahnya menerapkan ukuran kelas nan ideal bukan semata agar pembimbing memperoleh kondisi kerja nan baik, tetapi sesungguhnya juga untuk kepentingan terbaik anak agar memperoleh kondisi belajar nan ideal”, tegas Soeparman.
Koalisi Barisan Guru Indonesia mengusulkan kepada pemerintah agar bijak dalam menghadapi tuntutan organisasi sekolah swasta. Karena solusi atas kekurangan daya tampung sebenarnya sudah diatur di dalam Permendikdasmen nomor 11 tahun 2025 tentang SPMB ialah dengan melibatkan sekolah swasta. Oleh lantaran itu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Muti kudu mengingatkan Pemerintah Daerah untuk merealisasikan sistem solusi nan sudah dicanangkannya.
“Kami sangat mendukung jika Menteri, Gubernur Jawa Barat dan Forum Kepala Sekolah Swasta Jawa Barat berjumpa untuk mencari solusi demi kebaikan berbareng sekaligus menjaga ekosistem pendidikan nan selaras agar SPMB secara nasional dapat memberikan kepastian kepada setiap anak untuk memperoleh haknya berguru dengan pelayanan nan terbaik,” imbau Soeparman.
Di tempat nan sama, Dewan Pembina Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, Iwan Hermawan, membenarkan masalah daya tampung ini menjadi persoalan krusial sejak lama. “Kalau daya tampung tidak diselesaikan saat ini maka persoalan pendidikan kita ke depan bakal tetap sama. Akan selalu ada anak-anak nan tersingkirkan. Bukan hanya di Jawa Barat, tetapi di seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar”, tegas Iwan nan merupakan purnabakti pendidik dari SMA Negeri 9 Bandung.
Di lain pihak, Ketua Perkumpulan Guru Sekolah dan Madrasah Swasta Provinsi Jawa Tengah, Muhzen memberikan support kepada Forum Kepala Sekolah Swasta nan membikin surat terbuka untuk mengingatkan Presiden, jejeran pemerintahan pusat dan daerah, serta seluruh komponen pendidikan bahwa penetapan kebijakan pendidikan haruslah memperhatikan pengharmonisan ekosistem pendidikan.
Ia mengingatkan agar surat terbuka forum kepala sekolah swasta Jawa Barat segera diakomodir pemerintah dengan langkah membuka perbincangan sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan baik.
“Saya berambisi hal-hal nan dikhawatirkan organisasi sekolah swasta dapat diberikan solusinya. Jangan sampai kebijakan di satu wilayah bakal berkapak pada daerah-daerah lain. Ingat bahwa sekolah swasta ini berkedudukan krusial dalam aktivitas kemerdekaan bangsa ini. Oleh lantaran itu keselarasan antara satuan pendidikan negeri dan swasta merupakan daya dukung ekosistem pendidikan nan baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini,” tegas
Muhzen.
Penambahan kuota siswa menjadi maksimum 50 orang per kelas juga bakal berakibat pada kualitas pembelajaran. Wakil Koordinator Advokasi Pendidik Geografi Nusantara (Pendiks Geonusa), Laili Hadiati, mengakui bahwa untuk mengajar dengan jumlah siswa 36 orang per kelas saja sebenarnya pembimbing sudah mengalami kesulitan. Jika seorang pembimbing per minggu kudu mengajar 5 sampai 8 kelas sesuai berat jam tatap mukanya, maka pembimbing tersebut kudu melayani pembelajaran 180 sampai 288 murid. Jika ukuran kelas menjadi 50 siswa maka jumlah siswa nan dilayani ikut bertambah.
“Bayangkan jika pembimbing juga dibebani dengan tugas-tugas tambahan alias ada pembimbing nan kudu menangani sendiri mata pelajarannya lantaran sekolahnya kekurangan guru. Saya percaya pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) nan menjadi pilot proyek Menteri Pendidikan tidak bakal melangkah efektif,” tutur Laili.