ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Tiga Warga Negara Indonesia (WNI) di Jepang diduga melakukan perampokan dan ditangkap abdi negara setempat, akhir Juni kemarin. Peristiwa ini menambah panjang daftar kasus kejahatan nan melibatkan WNI di Jepang. Apa akar penyebabnya?
Insiden perampokan terjadi pada Januari 2025 di Hokota, Prefektur Ibaraki. Polisi baru meringkus ketiga tersangka lima bulan setelahnya. Motif para pelaku sampai saat ini tetap didalami. Korban merupakan penduduk lokal Hokota.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Rolliansyah Sumirat, mengungkapkan pihaknya sudah memberi pendampingan norma kepada ketiganya. Ketiga WNI ini, tambah Rolliansyah, tinggal di Jepang melampaui pemisah waktu, overstayer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketiga WNI telah didampingi pengacara dan KBRI Tokyo terus berkoordinasi dengan Kepolisian Mito, Kashima, dan Namegata di Prefektur Ibaraki, tempat ketiga WNI tersebut ditahan, untuk dapat menjenguk, memeriksa kondisi mereka," jelas Rolliansyah, Jum'at (4/7).
"Dan tentunya melakukan wawancara untuk mengetahui motif dan perincian info lainnya."
Ini kali kedua dalam waktu nan berjarak tidak terlalu lama buletin penduduk Indonesia "bertingkah" di Jepang muncul ke permukaan. Publik lebih dulu dibikin ramai dengan video nan memuat pemasangan bendera perguruan silat di salah satu jembatan di Jepang.
Tahun lalu, beredar info di media sosial sekelompok WNI membentuk semacam 'geng TKI' di Jepang. Namun, Kemlu Indonesia menyatakan belum ada temuan nan membuktikan berita tersebut.
Dua WNI nan sudah tinggal belasan dan puluhan tahun di Jepang mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa pemahaman mengenai budaya maupun kebiasaan masyarakat Jepangyang berbeda dengan Indonesiaharus ditingkatkan sehingga kejadian jelek tidak terus terulang.
"Pemerintah kudu sering melakukan komunikasi, sosialisasi, alias obrolan kepada orang-orang nan dianggap ketua organisasi di Jepang," ujar salah-seorang WNI nan tinggal di Prefektur Mie, Jum'at (4/7).
Peneliti kependudukan dari Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN), nan telah lama mengkaji rumor serta kejadian pekerja migran Indonesia di Jepang, menuturkan pembacaan konteks atas kejadian-kejadian itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara dua negara ini dalam sektor ketenagakerjaan.
"Di Jepang ini lantaran diaspora kita sebagian besar adalah kenshusei [pemagang] dengan beragam latar dan karakter orangnya," paparnya.
"Karena sebenarnya aspek pendorongnya itu Jepang nan memerlukan [tenaga kerja]. Bukan kita."
Dari kasus spanduk sampai perampokan
Kabar mengenai ulah penduduk Indonesia di Jepang tidak keluar sekali saja.
Sebelum peristiwa pidana akhir Juni lalu, video berisikan bendera perkumpulan pesilat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) lebih dulu viral. Dalam video itu, beberapa orang terlihat sedang memasang bendera PSHT di salah satu jembatan.
Aksi PSHT seketika memantik reaksi dari publik. Tidak sedikit nan menyebutnya "merugikan nama baik Indonesia," di samping "mengganggu ketertiban masyarakat Jepang."
PSHT menjelaskan kejadian ini dan menyatakan video diambil sudah lama, sekitar 2022. Meski begitu, PSHT, ujar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, mengaku bakal "melakukan perbaikan dan berkomitmen penuh untuk menaati seluruh ketentuan norma dan norma nan bertindak di Jepang."
PSHT, di saat nan sama, meminta seluruh anggotanya di Jepang agar tidak memakai atribut organisasi di luar aktivitas internal.
Pada Januari 2025, abdi negara penegak norma di Isesaki, Prefektur Gunma, Jepang, melaporkan kepada KBRI Tokyo bahwa mereka telah meringkus 11 WNI atas kasus perampokan nan terjadi beberapa bulan sebelumnya, November 2024. Satu WNI menjadi korban, meninggal setelah ditusuk.
Para tersangka, mengutip keterangan Kementerian Luar Negeri, ditetapkan melanggar norma untuk dua perkara: kadaluwarsa izin tinggal (overstayer) serta pembunuhan.
Selain di Isesaki, November 2024, tindak pidana juga dilakukan WNI di Kakegawa, Prefektur Shizuoka. WNI berumur 24 tahun merampok kediaman pasangan suami-istri lanjut usia (lansia).
Tidak hanya merampok, tersangka WNI ini menusuk keduanya sampai terluka parah.
Juli pada tahun nan sama, kepolisian Fukuoka menangkap seorang WNI nan merampok dan menganiaya wanita lokal.
WNI tersebut, berasas keterangan Kemlu RI, memukul korban dari belakang dan mengambil dompetnya. Dia ditangkap tidak lama selepas korban memberikan ciri-ciri pelaku nan mirip dengannya. Kala diperiksa, dompet korban ditemukan pula di tempat sang WNI.
Kemlu, pada April 2023, mengabarkan tiga WNI ditangkap lantaran dugaan pembunuhan, menyusul hilangnya WNI berumur 20 tahun selama 24 bulan.
Jasad korban ditemukan polisi di area pegunungan di Kota Ono, Prefektur Fukushima, di dalam sebuah koper. Polisi menyebut jenazah ini adalah WNI nan dulunya hilang. Tiga WNI lantas ditangkap dengan pasal pembunuhan serta pembuangan mayat.
Berbagai masalah nan timbul tak lepas dari aspek keberadaan WNI di Jepang nan jumlahnya cukup besar. Selama beberapa tahun belakangan, kepergian WNI ke Jepang, di luar urusan rekreasi, tercatat begitu masif.
Mengapa banyak WNI bekerja ke Jepang?
Jepang konsisten menempati bangku paling atas negara dengan populasi berumur tua terbesar di dunia. Pada 2020, nomor golongan usia tua di Jepang menyentuh 28,2% dari total penduduk. Per 2024, merujuk info nasional nan dirilis pemerintah Jepang, persentasenya meningkat menjadi 29,3%.
Jumlah populasi golongan tua, dengan kata lain, mencapai sepertiga dari keseluruhan penduduk, alias sekitar 36 juta orang di Jepang berumur lebih dari 65 tahun.
Jika disederhanakan lagi, satu dari 10 orang di Jepang berumur 80 tahun alias di atasnya.
Populasi nan tua berakibat pada sektor ketenagakerjaan, dan berkesempatan mengikis upaya pemerintah Jepang menggenjot perekonomian. Maka dari itu, Jepang membuka pintu masuk bagi para pekerja dari negara lain.
Indonesia termasuk nan menonjol.
"Karena biar bagaimanapun, di sana itu, walaupun negara maju, mereka tetap memerlukan tenaga kerja nan sifatnya manual skill, terutama di sektor pertanian dan perikanan," papar Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi Asmat, ketika diwawancarai BBC News Indonesia, Rabu (2/7).
"Sehingga butuh banyak pekerja dari luar, terutama Indonesia."
Pada 2019, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat bekerja sama di sektor ketenagakerjaan di bawah bendera Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Fokus kerja sama ini ialah pengiriman tenaga kerja di bagian tertentu (specified skilled worker).
Cakupannya merentang dari perawat, careworker, alias bidang-bidang lain nan memerlukan tenaga manusia pertanian, perkapalan, hingga jasa. WNI nan mendaftar program ini bakal diberi visa tokutei ginou.
Salah satu turunan dari kemitraan tersebut diwujudkan dengan kerja sama Kementerian Ketenagakerjaan dan otoritas Prefektur Miyagi pada 2023 kemarin. Kedua pihak saling setuju mengirim serta menempatkan tenaga kerja Indonesia ke Jepang.
Kesepakatan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Jepang punya lama empat tahun masa berlaku, serta dapat diperpanjang dengan waktu nan sama setelah berakhir.
- Nestapa 'anak oleh-oleh' pekerja migran: Jadi korban pernikahan anak hingga pelecehan seksual 'Kami terus terjebak di lingkaran setan'
- Sugianto, 'pahlawan' dari Indramayu nan selamatkan penduduk Korea Selatan dari musibah kebakaran rimba 'Saya menorehkan sejarah untuk bangsa Indonesia'
- Pemerintah Indonesia bakal cabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi, apa nan kudu dilakukan?
Di luar itu, pemerintah Jepang turut mengadakan aktivitas pemagangan (kenshusei) dengan jangka waktu tiga hingga lima tahun. Targetnya: lulusan SMA alias SMK. Bidang nan dibuka mencakup kerja pelat untuk bangunan bangunan, operator mesin press logam, sampai pemasangan genting genteng.
Program pemagangan ini dibagi ke dalam beberapa fase, mulai dari pelatihan, pertimbangan kompetensi, serta penempatan di industri.
Dua saluran tersebut berkontribusi dalam lonjakan WNI nan berupaya mengais rezeki di Jepang. Sampai Juni 2024, tercatat sebanyak lebih dari 87 ribu orang mengikuti program magang dan 44 ribu lainnya berstatus pekerja berketerampilan khusus.
Untuk poin nan disebut terakhir, sebaran pekerja Indonesia dapat dijumpai di 16 bagian kerja, dari caregiver, manufaktur, kelistrikan, elektronik, perikanan, sampai industri produk makanan dan minuman. Indonesia merupakan satu dari sekian negara utama pengirim tenaga kerja berjenis ini, di luar China, Filipina, Myanmar, serta Vietnam.
Peluang nomor partisipasi itu bakal bertambah sangat mungkin terealisasi mengingat pemerintah Indonesia dan Jepang sudah menyetujui penempatan pekerja berkekuatan unik dengan skema private-to-private (swasta).
Pejabat di Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga kerja sama internasional Jepang, Shishido Kenichi, menyatakan kebutuhan untuk pekerja migran tetap sama dengan kondisi nasional di Jepang, ketika usia demografis masyarakat nan menua serta tingginya permintaan tenaga kerja berkeahlian khusus.
Banyak perusahaan di Jepang, lanjut Kenichi, nan "antusias" untuk merekrut pekerja migran, tidak terkecuali dari Indonesia, tapi terkendala kekosongan penghubung nan bisa menyalurkan permintaan mereka.
Nawawi mengatakan pemicu tingginya nomor pekerja migran Indonesia adalah kebutuhan Jepang dalam memenuhi sumber daya manusia.
"Jepang itu sekarang the most aging country. Di sana ada masalah tentang mendapatkan tenaga kerja muda, apalagi nan [bisa] manual skill," jelasnya.
Keadaan ini, pada titik tertentu, membikin situasi "diaspora" Indonesia di Jepang berbeda dengan area lainnya.
"Kalau di negara lain, biasanya diaspora kita dibentuk oleh mereka-mereka nan ahli begitu, ya. Taruhlah, misalnya, di Eropa itu kebanyakan [dari] mereka adalah profesional," tandas Nawawi.
Sementara di Jepang, diaspora Indonesia kebanyakan tersusun oleh para pemagang dan pekerja berkekuatan unik di area tertentu.
"Taruhlah kasus nan kemarin itu, nan sempat heboh. Itu kebanyakan dari mereka adalah para kenshusei [pemagang]. Mereka nan kerja di Jepang atas nama visa magang," tutur Nawawi.
Pada awal September 2024, video anak-anak muda Indonesia berkumpul dan nongkrong di salah satu ruas jalanan di Osaka viral, menjadi bahan perbincangan di internet. Mereka, rata-rata, memakai atribut serba hitam.
Tidak sekadar itu, dalam video nan lain terlihat juga dua pemuda berboncengan menaiki sepeda serta mengibarkan bendera.
Sejumlah penduduk Jepang mengeluarkan keresahannya, menyamakan aktivitas anak-anak muda Indonesia tersebut tak ubahnya seperti tindakan golongan geng.
Pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Osaka membantah bahwa orang Indonesia membentuk geng di sana. KJRI Osaka menegaskan gerombolan pemuda nan jadi sumber percakapan diklaim sedang berlibur.
"Pantauan KJRI tidak ada geng pidana seperti di media sosial. Kami tidak mengetahui adanya geng nan dibuat WNI. Komunitas WNI tersebar di beragam kota, dan sejauh ini aktivitas mereka positif," sebut Konsul KJRI Osaka, R. A. Fathonah.
Dia menambahkan belum ada laporan dari pihak berkuasa perihal video anak-anak muda Indonesia nan viral itu.
- Lima WNI ditembak abdi negara Malaysia di perairan Selangor, pemerintah Indonesia diminta bersikap tegas 'Hampir terjadi tiap tahun dan tidak pernah tuntas'
- 'Harusnya gajinya dolar Amerika tapi digaji pakai duit Mauritius' Derita ABK Indonesia di kapal Taiwan
- Saya sudah habis-habisan, terkatung-katung Nasib calon pekerja pemetik buah musiman Indonesia nan tak kunjung diberangkatkan ke Inggris
Nawawi menilai pemerintah, dalam konteks menentukan langkah preventif, semestinya turut memberikan edukasi kepada calon pekerja maupun pemagang tidak hanya dari sisi teknis keberangkatan alias persiapan saja.
Mempelajari budaya setempat, alias dalam perihal ini Jepang, imbuh Nawawi, sama pentingnya agar hal-hal nan dipandang bertentangan dapat dihindari.
Dalam perkara berdompol dan unjuk identitas kelompok, sebagai contoh, menurut Nawawi, tidak sesuai dengan "nilai-nilai" maupun "kebiasaan" nan diyakini serta dipijak masyarakat Jepang.
"Jadi, nan diajarin itu hanya prosedur-prosedur, misalnya, jika Anda [calon pekerja alias pemagang] ada masalah dengan perusahaan Anda lapornya ke mana, begitu. Apa nan kudu dilaporkan dan gimana prosedurnya. Itu formal," terangnya.
"Tapi, nan informal ini nan enggak pernah diajarin. Tentang perbedaan culture kita [Indonesia] dengan masyarakat [Jepang] itu enggak ada."
Budaya masyarakat Jepang terbangun lewat, satu di antaranya, ketertiban di bermacam aspek kehidupan. Contoh nan paling sederhana: membuang sampah pada tempatnya alias tidak memanfaatkan akomodasi publik untuk kepentingan nan tidak sesuai.
Sayangnya, Nawawi menuturkan, "budaya" Indonesia, seperti membentuk gerombolan alias menggunakan akomodasi publik bukan untuk peruntukannya, dibawadan dipertahankanpara peserta pemagang alias pekerja ketika sudah di Jepang.
Di tengah itu, terdapat ketiadaan pembekalan ihwal budaya nan diterapkan oleh masyarakat Jepang sehari-hari.
Nawawi pernah mengalami sendiri kejadian nan kurang lebih serupa dengan apa nan muncul pada beberapa waktu terakhir. Tatkala sedang berada di kereta, orang-orang Jepang terbiasa diamtidak berisik. Akan tetapi, masyarakat Indonesia sebaliknya: berbincang satu sama lain.
"Akhirnya, ada orang Jepang nan jengkel dan dia bangun [dari tidurnya] untuk bilang jangan mengganggu. Intinya, orang Jepang ini butuh waktu untuk rehat di kereta," ceritanya.
Masyarakat Jepang condong memikirkan apakah ketika melakukan sesuatu bakal merugikan orang lain alias tidak. Sedangkan orang-orang Indonesia lebih ke meluapkan ekspresi.
"Nah, ini nan sering jadi masalah ketika pekerja Indonesia di sana," tegas Nawawi nan menempuh studi perburuhan di Universitas Mei, Jepang, pada 2008 sampai 2011.
Peran pemerintah, dalam urusan pekerja migran, juga dapat dimaksimalkan lewat keberadaan KBRI maupun KJRI di kota-kota di Jepang. Kedua instansi pemerintah itu, sebagai contoh, dapat melaksanakan sosialisasi di acara-acara nan mereka adakan.
Pesan nan disebarkan kurang lebih memuat rayuan bahwa masyarakat Indonesia kudu menyesuaikan diri dengan budaya serta nilai nan diberlakukan penduduk Jepang. Langkah ini, Nawawi berpandangan, merupakan corak antisipasi sekaligus kontrol terhadap gerak-gerik organisasi Indonesia.
"Secara garis besar adalah mengedepankan upaya-upaya untuk memberi penyadaran kepada diaspora kita bahwa mereka hidup di tempat dengan prinsip di mana langit dijunjung, maka di situ kudu mengikuti patokan nan ada," tambahnya.
"Ini nan jarang disampaikan sehingga sering kali, makanya, ada kasus-kasus nan seperti ini lantaran memang kurang [edukasi alias sosialisasi dari pemerintah]."
Aksi-aksi nan terlihat sepele, jika terus-menerus dibiarkan, tidak menutup kesempatan lahirnya tindakan nan serius, seperti tindakan kejahatan.
Di Jepang, kasus-kasus kejahatan nan menjadikan orang Indonesia sebagai tersangka tidak hanya muncul dalam satu waktu.
- 'Kerja 14 jam sehari, bayaran disunat, tak ada libur' - Mahasiswa magang asal Indonesia diduga diperas jadi 'buruh' di Jepang
- WNI korban 'sindikat penipuan online' di Laos, Kemlu Indonesia bebaskan 37 WNI - 'delapan WNI tetap belum dapat keluar'
- Migrasi tradisional NTT ke 'rumah kedua' Malaysia, sejarah 'tangis dan tawa' selama puluhan tahun
Pemerintah mengaku tengah mengusahakan peningkatan pendidikan kedisiplinan serta kesadaran norma bagi para pekerja WNI di Jepang.
"Mungkin [mereka] menganggapnya sama dengan di Indonesia, menghindari penegakan norma lantaran di Indonesia dianggapnya mudah saja. Di sini tidak mudah, seperti naik kereta tidak bayar," ucap Duta Besar RI untuk Jepang, Heri Akhmadi, September 2023.
"Merampok itu kegoblokan nan luar biasa. Memang menyedihkan, tapi kudu diatasi."
Pemerintah menegaskan pendidikan norma difungsikan agar bisa mencegah tindakan pidana sekaligus melindungi pekerja WNI. Pasalnya, abdi negara Jepang dianggap tidak menyediakan celah sedikitpun bagi para pelaku kejahatan untuk menghindar.
Cara nan bakal diambil pemerintah ialah dengan memaksimalkan peran Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) nan memfasilitasi pengiriman pekerja WNI ke Jepang.
"Yang sedang coba kita lakukan berbareng adalah memperbaiki proses pendidikannya," imbuh Heri.
Bagaimana organisasi Indonesia terbentuk?
Dari nan semula tidak mempunyai gambaran untuk tinggal di Jepang, sekarang Thony Tasiron sudah 18 tahun menetap di negara itu.
Pada 2007, Thony pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, tidak lama usai menamatkan pendidikan di bangku Sekolah Teknik Menengah (STM) di Majalengka, Jawa Barat. Karena belum mempunyai rencana pasti setelah lulus, Thony memilih untuk pergi berbareng kawan satu angkatannya ke Jepang.
Setibanya di sana, Thony mulai belajar bahasa Jepang, lampau melanjutkan kuliah selama dua tahun. Dari situ, dia memperoleh pekerjaan, bermukim, apalagi membangun keluarganya sendiri.
"Rasanya [tinggal di Jepang] kondusif dan nyaman," ujarnya kepada BBC News Indonesia, Jum'at (4/7).
"Akhirnya malah keterusan," imbuhnya.
Kini, Thony tinggal di Prefektur Mie, satu area di pesisir timur Jepang dan berdekatan dengan Nagoya. Sehari-hari, Thony bekerja di industri perkapalan.
Di Jepang, Thony berjumpa dan berkenalan dengan Komarudin, pekerja WNI asal Fakfak, Papua Barat, nan sudah lebih dulu tinggal di Jepang sejak 1998.
Komarudin, sama halnya Thony, adalah lulusan STM. Dia, awalnya, ke Jepang dengan mendaftar sebuah program magang. Kurang lebih tiga tahun dia habiskan untuk menuntaskan training sampai akhirnya dia meraih pekerjaan tetap.
Komarudin mengungkapkan jejaring orang Indonesia di Jepang cukup kuat. Di Prefektur Mie saja, Komarudin memberi contoh, rutin diadakan kegiatan-kegiatan nan mengumpulkan penduduk Indonesia.
Aktivitas nan dimaksud Komarudin ialah badminton.
"Kalau untuk tadi saya bilang, bulu tangkis di Prefektur Mie itu diadakan setiap dua minggu sekali. Kalau pengajianuntuk muslimdalam sebulan sekali itu ada," sebut Komarudin.
"Jadi, jika dibilang kuat, alhamdulillah kuat."
Ruang-ruang seperti itu, Komarudin mengakui, membantu memperkenalkan antarwarga Indonesia di Jepang, nan kemudian berkontribusi terhadap lahirnya organisasi nan berisikan sesama perantau.
Pola pembentukan organisasi Indonesia di Jepang, menurut Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi Asmat, bersandar kepada beberapa saluran.
Pertama, paguyuban berbasis daerah. Di Jepang, paguyuban Bugis dan Jawa mendominasi. Setiap paguyuban, nyaris pasti, terpecah menjadi unit-unit mini berasas daerah.
Di dalam paguyuban Jawa, misalnya, terdapat kelompok-kelompok pecahan berisikan orang-orang unik dari Boyolali alias Kendalkeduanya Jawa Tengah.
Peran paguyuban, ketika membahas mengenai pekerja WNI di Jepang, begitu signifikan, kata Nawawi. Paguyuban menjadi tujuan pertama saat para pekerja alias pemagang WNI datang ke Jepang.
"Biasanya jika mereka butuh kebutuhan-kebutuhan dasar nan [sifatnya] emergency, mereka bisa dapatkan dari senior-senior mereka. Misalnya jika mereka butuh piring, selimut, alias apa pun itu daripada membeli, sementara mereka dapatkan lewat paguyuban," Nawawi memaparkan.
Pendek kata, paguyuban membantu para pekerja baru untuk beradaptasi dengan segala perihal di Jepang agar "mereka bisa bertahan," tambah Nawawi.
Simpul kedua adalah berasas wilayah dengan skala lebih meluas, dalam artian: Indonesia bagian barat, tengah, alias timur.
Sementara nan ketiga, organisasi Indonesia di Jepang dipupuk melalui organisasi keagamaan, lebih tepatnya masjid. Biasanya, jika di suatu wilayah ada masjid besar nan konsisten membikin beragam acara, maka "simpul-simpul masyarakat dengan sendirinya berdiri," tutur Nawawi.
"Karena, biar bagaimanapun, bagi orang Indonesia masjid itu salah satu simbol lembaga sosial nan mereka cari ketika di luar negeri," ucap Nawawi.
Keempat, dan ini berkembang dalam beberapa waktu belakangan, adalah melalui paguyuban nan sifatnya berpatokan pada aktivitas tertentu, seperti sepak bola, silat, alias bulutangkis.
Meski demikian, Nawawi menggarisbawahi, saluran utama dan terbesar organisasi Indonesia di Jepang berasal dari latar belakang kewilayahan.
- Pekerja migran asal Karawang 'dijual' ke Suriah, pihak keluarga: 'Dia diancam bakal dipidana jika tak jadi berangkat'
- PRT Indonesia di Malaysia - Ratusan kasus penganiayaan di kembali upaya besar
- Kisah pasukan gereja 'menghidupkan jeritan' pekerja migran nonprosedural NTT nan 'pulang dalam peti mati'
Dari sisi internal para pekerjanya, kepergian dan kehadiran ke Jepang setidaknya didorong dua hal.
"Jadi, ada nan datang ke sana memang untuk akumulasi modal. Mereka biasanya itu sangat disiplin. Ketika dapat uang, mereka berupaya saving. Sehingga pulang nanti, katakanlah setelah empat tahun, dia punya modal," Nawawi menerangkan.
Lalu nan berikutnya ialah para pekerja nan pergi ke Jepang ditujukan untuk tinggal di sana selamanya. Setelah sasaran ekonomi terpenuhi, mereka mulai mencari jodoh dan menikah dengan penduduk setempat.
Sepengamatan Nawawi, nan meriset mengenai pekerja migran Indonesia di Jepang, orang-orang Indonesia adalah salah satu nan favorit.
Dengan menikahi orang Jepang, otomatis kesempatan untuk mendapatkan status permanent resident bakal minim kendala. Dilihat dari tipologinya, Nawawi menambahkan, "trennya adalah laki-laki Indonesia menikah dengan wanita Jepang."
"Jadi mixed marriage di Jepang itu Indonesia cukup dinikmati. Saya sendiri sering dan pernah diminta mencarikan jodoh orang Indonesia," kenang Nawawi, disusul tawa.
Fenomena ini "dirayakan" di media sosial seperti TikTok, berasas observasi BBC News Indonesia. Di TikTok, beberapa akun milik WNI nan BBC News Indonesia temukan memperlihatkan kehidupan membina rumah tangga berbareng penduduk Jepang.
Hal itu bertindak dua arah. Ada nan WNI-nya berasal dari pihak laki-laki, begitu pula sebaliknya: WNI-nya perempuan.
Konten-konten mereka menunjukkan gimana pernikahan dua penduduk negara berlangsung, termasuk ketika pasangan dari Jepang diajak mudik ke Indonesia.
Sebagian besar konten-konten seperti ini panen likes dan views. Reaksi akun lain di kolom komentar menggambarkan keingintahuan tentang keberhasilan pernikahan beda negara.
Thony menjelaskan keadaan di Jepang, sekarang, berbeda jauh dengan saat dia dulu tiba di sana untuk kali pertama. Indikatornya adalah jumlah WNI nan pergi ke Jepang, waktu itu, tidak kelewat banyak.
Dengan pengambil kebijakan kian giat membujuk pekerja dari negara lain untuk masuk dan bekerja, orang-orang mulai beramai-ramai pergi ke Jepang.
Konsekuensinya, ke-Indonesia-an di Jepang semakin beragam, luwes, dan juga, pada momen nan sama, kompleks.
"Mereka akhirnya bikin bendera sendiri, kumpul di taman dengan membawa bendera," ujar Thony. "Sementara dari penduduk negara Jepang sendiri enggak ada kayak begitu."
Menurut Thony, berkumpul dan menyelenggarakan aktivitas dengan sesama penduduk Indonesia bukan suatu masalah, selama tetap memperhatikan "rambu-rambu" sosial.
"Kita hidup di negara orang. Istilahnya, numpang di negara orang. Minimal kita kudu hati-hati dengan peraturan nan ada," tandasnya.
Bagi Komarudin, pemerintah sebaiknya menggandeng para ketua organisasi Indonesia di Jepang nan jumlahnya bisa dikata tidak sedikit. Dengan begitu, pemerintah dapat melakukan "pembimbingan."
"Menurut saya pemerintah kudu membujuk berbincang para pentolan organisasi ini bahwa kita tinggal di sini itu sebisa mungkin bertindak baik. Mungkin itu corak kombinasi tangan nan dapat dilakukan pemerintah," tegasnya.
Jarak Indonesia dan Jepang terpisah lebih dari 4 ribu kilometer. Kiwari, agaknya, bentang nan memisahkan Indonesia dan Jepang seperti tidak terlampau jauh dengan lahirnya beragam situasi nan begitu unik nuansa Indonesia-nya.
- Mengungkap modus 'rayuan surgawi' dan jalur 'kejahatan mengerikan' mafia perdagangan pekerja migran NTT
- WNI mantan pemetik buah menjadi imigran gelap dan pencari suaka di Inggris - 'Ini jalan pintas paling mudah'
- Bentrok pekerja China dan Indonesia di PT GNI, Kemenaker didesak jatuhkan hukuman berat: 'Masa negara kalah sama perusahaan?'
Saksikan Live DetikPagi:
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini