Haidar Alwi Paparkan 5 Gagasan Strategis Arah Baru Ekonomi Indonesia Jelang 80 Tahun Kemerdekaan

Sedang Trending 10 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi,menyampaikan pandangan tentang masa depan ekonomi Indonesia menjelang usia ke-80 kemerdekaannya. Baginya, ulang tahun bangsa bukan sekadar perayaan, melainkan panggilan sejarah untuk menata ulang arah pembangunan agar lebih berdiri di atas kekuatan sendiri.

Ia menjelaskan, selama lebih dari lima dekade, bumi berada dalam hegemoni Amerika Serikat, penguasa dolar, pengendali energi, dan pengatur lampau lintas perdagangan global. Namun sejak 2017, setelah 35 tahun membangun kekuatan ekonominya secara sistematis dan tenang, Tiongkok mulai menyaingi kekuasaan tersebut. Pasca-COVID, negara itu melesat dalam teknologi, kesehatan, militer, hingga sistem pembayaran dunia melalui konsolidasi BRICS.

"Pertarungan Amerika dan Tiongkok bukan sekadar persaingan ekonomi, tapi tumbukan dua sistem besar. Dan Indonesia kudu memilih: menjadi penonton, alias ikut menentukan arah masa depan dunia," ujar Haidar Alwi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7/2025) malam.

Ia mencermati bahwa strategi pelemahan dolar nan digunakan Amerika bermaksud menghidupkan kembali industrinya. Ini membuka celah bagi negara-negara seperti Indonesia untuk membangun fondasi baru, asal ada keberanian untuk berubah.

Haidar Alwi menyoroti gimana Amerika sebelumnya mencoba menghidupkan kembali ekonomi militernya melalui ketegangan geopolitik. Salah satunya adalah serangan terhadap Iran pada masa Trump. Langkah itu sempat diduga bakal menjadi perangkat untuk mendorong permintaan senjata, sebagaimana pola lama Amerika di beragam konflik.

Namun hasilnya justru sebaliknya. "Waktu menyerang Iran, nan muncul bukan legitimasi, tapi kecaman. Bukan hanya dari bumi internasional, tapi juga dari dalam negeri mereka sendiri," jelas Haidar Alwi. Dunia tak lagi menyambut perang dengan dukungan. Maka strategi ekonomi menjadi pilihan: bukan lagi menguasai bumi dengan senjata, tetapi dengan nilai nan lebih kompetitif.

Haidar Alwi menyampaikan bahwa pelemahan dolar bukanlah tanda kelemahan Amerika, melainkan strategi sadar untuk menghidupkan ekspor dan industri dalam negeri. Ketika produk Amerika tak bisa bersaing dengan barang-barang murah dari Tiongkok, maka nan paling logis adalah membikin dolar lebih murah.

"Dolar bisa turun ke Rp14.000 apalagi Rp13.000. Ini bukan lantaran rupiah menguat, tapi lantaran Amerika sedang membalik strategi mereka," ungkapnya.

Analisa ekonomi mendukung perihal ini. Mulai dari dolar mulai kehilangan daya tekan sebagai perangkat geopolitik, negara-negara BRICS memperkuat perdagangan non-dolar, The Fed bersikap lebih longgar, membuka kesempatan depresiasi mata duit dan produk industri AS butuh daya saing baru.

"Bagi Indonesia, pelemahan dolar memberi akibat ganda: produk AS bakal lebih murah dan pasar lokal bisa terganggu, jika tak ada perlindungan nan bijak dan adil. Namun, jika dikelola dengan cerdas, momentum ini juga bisa membuka ruang fiskal dan memperkuat sektor produksi dalam negeri," papar R Haidar Alwi.

Di tengah ketidakpastian global, Indonesia justru menyimpan kekuatan besar nan belum digarap maksimal seperti PDB mendekati Rp24.000 triliun, populasi 280 juta jiwa kebanyakan usia produktif, persediaan nikel terbesar dunia, ditambah emas, batu bara, migas, dan panas bumi, kemudian posisi strategis di jalur jual beli dan maritim internasional dan bingkisan demografi terbesar di Asia Tenggara.

Namun semua ini tidak berfaedah tanpa kedaulatan dalam pengelolaannya. "Kita kudu berakhir menjual mentah dan membeli mahal. Indonesia perlu mengelola sendiri kekayaan alamnya, dan membangun industrinya dengan percaya diri," tegas Haidar Alwi.

Selengkapnya