Guru Dan Kecerdasan Buatan

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Guru dan Kecerdasan Buatan (Dok. Pribadi)

ALAN Mathison Turing, dalam esainya nan terkenal Computing Machinery and Intelligence (1950), mengusulkan pertanyaan mendasar: 'Dapatkah mesin berpikir?' Pertanyaan itu tidak hanya menjadi tonggak dalam diskursus kepintaran buatan (artificial intelligence atau AI), tetapi juga terus relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini. AI, berbareng mahadata (big data) dan internet of things (IoT), telah menjadi kekuatan disruptif nan mengubah beragam aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan.

Meskipun perkembangan AI mengalami siklus naik turun--dikenal sebagai AI Springs dan AI Winter--dan dikritik lantaran tetap terjebak dalam beragam sesat pikir dalam memahami kepintaran mesin (Mitchell, 2021), tidak dapat disangkal bahwa AI sekarang telah menjadi bagian dari realitas sehari-hari.

Kehadirannya memicu perdebatan: apakah AI solusi bagi beragam tantangan manusia alias justru ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri? Dalam konteks pendidikan, perdebatan itu semakin relevan. Sejauh mana AI dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran? Apakah AI bakal menggantikan peran guru alias justru menjadi mitra nan memperkuat bumi pendidikan?

DISRUPSI TEKNOLOGI

Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam ranah mendidikan adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan pesat teknologi--di antaranya kepintaran buatan--ialah disrupsi nan mengubah wajah dan dinamika bumi pendidikan. Penggunaan kepintaran buatan dalam pendidikan tidak hanya mewakili kecenderungan/tren dalam era nan tak bisa diprediksi, semakin rentan, rumit dan membingungkan, tetapi telah menjadi kebutuhan nan semakin plural ditemui.

Data survei Tirto dan Jakpat (Tirto.id dan Jakpat.net, Mei 2024), misalnya, menyatakan sebanyak 86.21% dari 1.501 responden pelajar/mahasiswa (berusia 15-21 tahun), terbiasa menggunakan support kepintaran buatan untuk menyelesaikan tugas sekolah/kuliah. Data lain dari WriterBuddy--penyedia jasa konten berbasis kepintaran buatan--menyebutkan orang Indonesia berkontribusi atas 5,6% dari total 24 miliar kunjungan ke 50 situs perangkat AI antara periode September 2022 sampai Agustus 2023.

Data tersebut mengindikasikan bahwa kepintaran buatan telah terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di bagian pendidikan. Teknologi seperti Generative AI (Gen AI), termasuk ChatGPT, sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian pelajar dan mahasiswa.

Kecerdasan buatan menjanjikan kemudahan, kecepatan, dan kesuaian dengan kebutuhan mereka nan menggunakannya. Beberapa corak kepintaran buatan terkenal seperti Duolingo membantu penggunanya untuk belajar bahasa nan diinginkan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, kecepatan dan style belajar nan beragam (personalized learning).

Khanmigo, nan didukung GPT-4, bisa membantu bukan hanya siswa dan guru, tetapi juga orangtua siswa dalam belajar berbagi bagian studi, menyusun rencana pembelajaran nan efektif, alias memonitor aktivitas anak dalam menggunakan aplikasi berbasis kepintaran buatan.

Beberapa corak kepintaran buatan lain adalah Dragon Speech Recognition dari Nuance Communication Inc, aplikasi transkripsi percakapan menjadi teks nan bisa mengubah bunyi menjadi teks, 160 kata per menit, dengan kecermatan tinggi. StepWise Virtual Tutor, platform pembelajaran STEM dapat membantu pembimbing dan siswa memahami bagian sains, teknologi, dan matematika dengan pengaturan disesuaikan dengan kebutuhan mereka melalui pembelajaran interaktif, kuis-kuis adaptif, dan umpan kembali secara langsung.

Terakhir, Carnegie Learning, perangkat lunak nan menyediakan jasa pengembangan kurikulum dan bahan-bahan pelajaran untuk tingkat dasar sampai menengah atas. Melalui Cognitive Tutor, kepintaran buatan bakal mengajar penggunanya secara adaptif sesuai keahlian mereka, memungkinkan pembimbing melacak perkembangan siswa melalui umpan kembali nan bergerak dan membantu penyusunan rencana pembelajaran nan sesuai.

Berbagai aplikasi berbasis kepintaran buatan nan telah disebutkan menjadi tantangan besar bagi model pembelajaran konvensional. Pada derajat tertentu, teknologi itu menawarkan jawaban atas pertanyaan Turing mengenai apakah mesin dapat berpikir dan belajar seperti manusia. Sejumlah perangkat lunak berbasis AI telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dan belajar dari beragam respons pengguna.

Bayangkan jika siswa dapat dengan mudah menyesuaikan metode dan style belajar mereka, memperoleh jawaban nan jeli atas pertanyaan mereka, serta mengakses info dan solusi sesuai kebutuhan, kapan saja dan di mana saja. Hal itu membikin peran pembimbing dalam proses pembelajaran menjadi semakin kompleks dan menantang. Seiring dengan pesatnya perkembangan kepintaran buatan, muncul kekhawatiran nan tak terhindarkan: akankah pembimbing suatu hari kelak betul-betul digantikan oleh mesin?

MESIN MENGGANTIKAN GURU

Menimbang perkembangan teknologi kepintaran buatan, kekhawatiran bahwa mesin bakal dapat menggantikan manusia dalam menjalankan fungsinya sebagai guru, tampak cukup beralasan. Representasi terbaik dari kekhawatiran itu setidaknya muncul melalui beragam movie fiksi-sains, saat mesin/robot dengan kepintaran nan menyamai alias apalagi melampaui manusia, menggantikan banyak pekerjaan, mendominasi apalagi menaklukkan manusia.

Sebagian pandangan nan lebih optimistis beranggapan bahwa kepintaran buatan berpotensi melampaui manusia dalam menghimpun serta mengolah pengetahuan dan informasi, apalagi dalam tingkat tertentu dapat dirancang untuk mempunyai kepekaan serta mendukung nilai-nilai nan dianut manusia.

Namun, AI tetap belum bisa menyamai kepintaran manusia dalam perihal common sense, ialah pemahaman intuitif tentang bumi serta keahlian menerapkan pengetahuan untuk memahami, memprediksi, dan bertindak dalam beragam situasi nan kompleks (Mitchell, 2021).

Selain itu, AI dianggap tidak mempunyai keyakinan, kesadaran, intensionalitas, maupun pengalaman subjektif seperti manusia lantaran sepenuhnya berjuntai pada algoritma dan data. Meskipun demikian, perihal itu tidak berfaedah keberadaan AI dalam bumi pendidikan kudu diabaikan alias ditolak, tetapi sebaiknya dimanfaatkan sebagai kesempatan kerjasama untuk menciptakan sistem pembelajaran nan lebih baik (Murtiningsih, 2025).

Dalam era kepintaran buatan, pembimbing dituntut untuk terus belajar dan mempunyai kelenturan beradaptasi dan bekerja-sama dengan dinamika kepintaran buatan. Guru dapat memulainya dengan mengubah langkah berpikir dan bertindak mereka dengan tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, mengambil posisi sebagai penyedia nan terus belajar dalam proses pendidikan.

Membekali pembimbing dengan pemahaman nan lebih baik atas prinsip-prinsip dasar kepintaran buatan, melatih berpikir komputasional, menguasai prinsip penggunaan kepintaran buatan nan berpusat pada manusia, memahami rumor etika, pedagogi, dan pengembangan diri mengenai dengan kepintaran buatan perlu segera dilakukan. Dengan terus belajar dan beradaptasi, pembimbing sedang menabung kesempatan untuk melakukan perihal nan mungkin tidak pernah dilakukan mesin: menabalkan kesadaran kemanusiaan dan memberi inspirasi di masa depan.

Selengkapnya