ARTICLE AD BOX

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) disebut berpotensi mengalami gangguan di tengah jalan. Itu dapat terjasdi jika kedudukan ketua lembaga anyar tersebut diisi oleh orang-orang nan sejatinya merupakan bagian dari pemerintahan.
"Danantara bakal sangat berkesempatan untuk mengalami distorsi ditengah jalan, terutama untuk kepentingan politik dan pemerintahan di arena ekonomi. Ini sangat berpotensi mengganggu kesehatan perekonomian nasional secara keseluruhan," ujar Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita melalui keterangannya, Senin (24/2).
Dia mengatakan semangat reformasi BUMN sejatinya dalam rangka memisahkan antara tiga hal, ialah negara dan pemerintah sebagai regulator, negara dan pemerintah sebagai pemilik saham (shareholder), dan BUMN sebagai entitas bisnis. Itu merupakan tujuan didirikannya Temasek di Singapura, SASAC di China, APE di Perancis, alias Khasana di Malaysia.
"Mereka tidak saja sebagai entitas berupa Sovereign Wealth Fund (SWF), tetapi juga sebagai lembaga perantara dari ketiganya," jelas dia.
Negara sebagai regulator, kata Ronny, tidak bisa bertindak sekaligus sebagai pemilik saham, apalagi sebagai pelaku alias operator. Pasalnya perihal itu bakal membikin posisi negara sebagai regulator menjadi rancu karena kudu mengatur dirinya sendiri.
"Sehingga negara sebagai regulator kudu dinetralisasi dengan lembaga perantara berjulukan superholding dan sejenisnya. Superholding ini menjadi perwakilan negara di dalam kepemilikan saham di BUMN-BUMN," tuturnya.
Jika CEO dan COO Danantara adalah menteri dan wakil menteri, imbuh Ronny, negara dan pemerintah tidak saja mencampuradukan kapasitasnya sebagai regulator sekaligus pemilik saham, tetapi juga sekaligus menjadi operator. Itu lantaran menteri-menterinya yajg sejatinya bertindak sebagai perwakilan regulator, juga bertindak sebagai perwalikan pemilik saham sekaligus operator.
"Tidak jelas lagi siapa regulator, pengawas, pemilik saham, dan operator, semuanya lebur menjadi satu. Padahal ketiga perihal ini semestinya dipisah secara sendiri-sendiri, justru disatukan secara bulat-bulat di dalam Danantara," terang Ronny.
"Sehingga nan bakal terjadi adalah negara sebagai regulator bakal mengeluarkan izin nan bakal menguntungkan dirinnya sendiri di saat danantara memutuskan untuk berinvenstasi, dan bakal membikin pelaku pasar lain terpinggirkan," tambahnya.
Dengan kata lain, pasar bakal terdistorsi sedemikian rupa, lantaran negara bakal berpihak kepada entitas upaya nan dia miliki di mana negara adalah juga pemilik sahamnya dan operatornya. Bahkan, menurut Ronny, tak menutup kemungkinan Danantara bakal menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan pelaku pasar-pelaku pasar nan dianggap berada di posisi berlawanan dengan pemerintah.
"Arti lainnya, fairness di pasar bakal hilang, lantaran negara dengan aset dan anggaran nan besar mengintervensi ekonomi, nan diperlengkapi dengan kapabilitas regulator dan shareholder," pungkas Ronny. (E-3)