Cegah Praktik Korupsi, Transparansi Pengelolaan Kekayaan Negara Harus Diperkuat

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX
Cegah Praktik Korupsi, Transparansi Pengelolaan Kekayaan Negara Harus Diperkuat Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) menyerahkan laporan pemerintah kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan) disaksikan Wakil Ketua DPR Adies Kadir (kedua kanan) dan Saan Mustopa (ketiga kanan) saat Rapat Paripurna ke-12 Masa Persidangan II Tahun Sidan(ANTARA/Rivan Awal Lingga)

PRESIDEN Prabowo Subianto perlu meninjau ulang pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan revisi arti duit negara dalam UU BUMN.

"Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara adalah perihal krusial untuk mencegah praktik-praktik nan dapat merugikan negara," kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus di Jakarta, Minggu (23/2).

Untuk diketahui, DPR mengesahkan perubahan ketiga atas UU No 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam rapat paripurna pada 4 Februari 2025.

Perubahan itu awalnya diketahui publik sebagai landasan norma bagi pembentukan BPI Danantara. Namun, ada perihal lain nan menjadi sorotan mengenai arti baru tentang duit negara nan dipisahkan.

Menurut dia, arti ini mengubah konsep nan selama ini berlaku. Uang negara nan dipisahkan dalam konteks UU BUMN baru ini tidak lagi diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak dapat ditindak abdi negara norma jika terjadi penyimpangan berpotensi merugikan negara. Iskandar menilai masalah itu merupakan "uang negara nan dihilangkan statusnya" alias apalagi "uang nan di-offshore-kan."

Menurut Iskandar, pada konteks finansial negara dan hukum, ada beberapa istilah nan bisa menggambarkan kejadian tersebut.
Pertama, duit negara nan dikaburkan statusnya. Dana nan awalnya berasal dari finansial negara tapi kemudian ditempatkan pada sistem nan membuatnya susah diperiksa alias diawasi.

Kedua, duit negara nan dikonversi, biaya negara dialihkan ke sistem tertentu sehingga tidak lagi tunduk pada pengawasan finansial negara. Ketiga, biaya semi-privatisasi. Yaitu duit negara nan dipisahkan dalam corak biaya unik alias perusahaan nan dikelola swasta, tetapi tetap mengenai dengan kepentingan negara.

Keempat, shadow funds (dana bayangan). Dana nan secara administratif dan norma tidak lagi dianggap sebagai finansial negara meskipun berasal dari negara.

Kelima, biaya non-audit (unaccountable fund). Dana negara nan dipisahkan sehingga tidak lagi dapat diaudit BPK alias diawasi abdi negara hukum. Keenam, duit negara nan didelegitimasi. Dana negara nan sengaja dipindahkan ke sistem tertentu sehingga kehilangan statusnya sebagai bagian dari finansial negara.

"Padahal, pengelolaan dan pengawasan finansial negara sudah diatur oleh beberapa izin nan menegaskan kewenangan BPK untuk melakukan audit, termasuk kekayaan negara nan dipisahkan," ujarnya.

Pada Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 misalnya, menegaskan BPK adalah lembaga independen nan berkuasa memeriksa finansial negara. "Dalam UU nomor 17 Tahun 2003 tentang finansial negara, disebutkan kekayaan negara nan dipisahkan dalam perusahaan negara tetap dianggap sebagai finansial negara," katanya.

Selain itu dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara ditegaskan BPK mempunyai kewenangan memeriksa semua pengelolaan finansial negara, termasuk di BUMN/BUMD.

"Demikian pula dalam UU No 15/2006 tentang BPK mengatur bahwa BPK tetap berkuasa memeriksa kekayaan negara nan dipisahkan," ungkapnya. Kemudian dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013, menegaskan kekayaan negara nan dipisahkan tetap bagian dari finansial negara dan berada di bawah pengawasan BPK.

"Jika merujuk pada aturan-aturan itu, kekayaan negara nan dipisahkan tetap berada dalam ranah pengawasan BPK. Namun, UU BUMN nan baru justru menghilangkan pengawasan ini sehingga membuka celah bagi praktik-praktik penyalahgunaan finansial negara," tegas Iskandar.

Iskandar menilai jika ada upaya menghindari pemeriksaan alias pengawasan terhadap kekayaan negara nan dipisahkan, itu berpotensi menjadi pelanggaran norma dan masuk kategori tindak pidana korupsi.
"Lebih jauh lagi, praktik ini bisa dikategorikan sebagai fraud finansial negara, pencucian duit (money laundering), alias penggelapan finansial negara (embezzlement)," katanya.

Iskandar meyakini Presiden Prabowo bisa mengantisipasi upaya nan bermaksud mengaburkan status duit negara. Ia mengingatkan jika pemerintah membiarkan praktik semacam ini terjadi, perihal tersebut dapat menjadi celah bagi oknum tertentu untuk menyalahgunakan finansial negara dan merusak kredibilitas pemerintahan.

"Sebagai langkah antisipasi, pola transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara kudu diperkuat. Jika tidak, kebijakan ini justru jadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekayaan negara nan semestinya diawasi secara ketat oleh lembaga negara seperti BPK dan abdi negara norma lainnya," pungkasnya. (H-2)

Selengkapnya