Beras Medium-premium Dihapus, Penggilingan Padi Kecil Terancam Hilang?

Sedang Trending 21 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, leopardtricks.com - Rencana pemerintah menghapus pengelompokkan beras premium dan medium disebut dapat memicu ketimpangan baru dalam struktur industri perberasan. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengingatkan, kebijakan tersebut berpotensi menekan penggilingan padi mini nan jumlahnya sangat dominan di Indonesia.

"Hapus kelas beras kudu hati-hati. Apapun kebijakan nan diambil, termasuk penyederhanaan pengelompokkan beras, kudu menimbang kondisi riil di lapangan," ujar Khudori kepada CNBC Indonesia, Kamis (31/7/2025).

Perlu diketahui, pemerintah saat ini berencana menyederhanakan pengelompokkan beras menjadi hanya dua, ialah beras umum (reguler) dan beras khusus. Tidak bakal ada lagi pembagian beras medium dan premium sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras.

Namun menurut Khudori, di kembali wacana penyederhanaan itu, ada kebenaran struktur industri nan tak bisa diabaikan.

Dari total sekitar 169 ribu unit penggilingan padi di Indonesia, 95% adalah penggilingan skala kecil. Sisanya adalah penggilingan menengah (4,32%) dan besar (0,62%).

"Penggilingan padi mini tak bisa menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak bisa menghasilkan beras dengan higienitas tinggi," jelasnya.

"Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berbobot bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi," sambung dia.

Ia menekankan, jika pemerintah hanya menetapkan satu standar mutu beras umum tanpa mempertimbangkan kapabilitas penggilingan kecil, maka penggilingan tersebut bisa tersingkir dari pasar. Hal itu berpotensi menimbulkan gelombang pengangguran dan menyulitkan petani dalam menjual gabahnya.

Dominasi penggilingan mini sendiri merupakan warisan kebijakan era 1970-an, ketika beras tetap dianggap sebagai komoditas homogen. Namun dalam dua dasawarsa terakhir, preferensi konsumen telah berubah drastis. Beras sekarang diperlakukan sebagai produk heterogen, berasas rasa, kualitas, varietas, kemasan, hingga merek.

Pangsa pasar beras premium merek tertentu sekarang diperkirakan mencapai 30% dari konsumsi nasional.

"Apakah meniadakan beras premium dan medium ini jalan keluar dari 'kekisruhan' di bumi perberasan saat ini? Apa implikasi dari rencana ini jika betul-betul dieksekusi?" ucap Khudori.

Ia juga menyebut, jika mutu beras umum ditetapkan terlalu tinggi, maka penggilingan mini tak bakal bisa memenuhinya. Hal ini bisa menimbulkan distorsi baru, termasuk potensi praktik manipulasi kualitas dan pasar gelap beras kelas rendah nan tak diakomodasi kebijakan.

Karena itu, dia mendorong pemerintah untuk tidak tergesa-gesa mengeksekusi kebijakan tersebut. "Pertanyaannya kemudian, gimana kualifikasi mutu beras umum dan beras unik ditetapkan? Lalu, dengan kualifikasi mutu beras itu, pada HET berapa beras umum dipatok?" ucapnya.

"Kebijakan publik nan baik adalah gimana meminimalkan pihak nan dirugikan dan memperbesar pihak nan diuntungkan. Tidak mudah. Sudah pasti. Itulah tantangan krusial bagi setiap pejabat publik," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Heboh Tipu-Tipu Beras Oplosan, Polisi Sudah Turun Tangan-Ini Aturannya

Selengkapnya