Apresiasi Dan Masukan Untuk Hasan Nasbi

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

"Conformity is the jailer of freedom and the enemy of growth."--John F Kennedy

Ada satu seni nan tak bisa dipelajari hanya dari buku. Tak bisa dikuasai hanya dengan latihan, dan tak bisa dipaksakan oleh sekadar jabatan. Seni itu adalah berbincang dengan logika untuk menemukan kepekaan dan memoles kata-katanya dengan hati. Semuanya untuk menemukan kebaikan. Seni seperti itu kadang tak ditemukan secara denotatif/harafiah melainkan ditelusuri secara konotatif/pemaknaan.

Sejatinya, komunikasi bukan hanya alat, tetapi juga wajah peradaban. Dari langkah bangsa berbicara, kita bisa memandang gimana mereka berpikir, gimana mereka menghargai sesama, dan gimana mereka menuliskan jejak sejarahnya. Di podium Istana, seorang ahli bicara kepresidenan dituntut untuk tak sekadar menjadi bunyi dari pemerintahan. Ia adalah jembatan antara kekuasaan dan rakyat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata-katanya dapat menjadi api nan membakar ketegangan alias angin sejuk nan meredam amarah, namun di atas itu semua, dia memberikan pemahaman hingga kata-kata difahami lebih terang dari cahaya.

Sebagai seorang Pollstar dan konsultan komunikasi politik, saya memahami bahwa komunikasi tidak hanya tersusun dari kuatnya narasi. Komunikasi politik juga memerlukan relevansi dan karakter style komunikasi untuk bisa terhubung dan diserap dalam akal publik.

Keramaian soal pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Nasbi dapat dipahami dalam kacamata itu. Jejak rekam memenangkan puluhan kontestasi election, tak hanya memerlukan kepiawaian menemukan diksi, tagline alias slogan.

Lebih dari itu, dituntut mempertahankan diksi, tagline alias semboyan pada narasi nan mau dimenangkan. Maka nan dianggap kontroversi soal pernyataan Hasan Nasbi mengenai komunikasi non directional nan diajukan padanya secara doorstop, nan non official, mengenai peristiwa publik seperti teror kepala babi di instansi redaksi Tempo, perlu dilihat sebagai komunikasi dua arah (two way traffic communication) nan setidaknya dapat dilihat dari tiga tahap.

Pertama, dimulai oleh sebuah pengakuan bahwa negara (Kantor Komunikasi Presiden) mengikuti rumor publik, dengan menelusuri jejak media sosial Fancisca Christy Rosana nan merupakan wartawan tempo, ada mutual respect di sana.

Kedua, mutual understanding, saling respon atas pendapat, lantaran seperti pendapat Roland Barthes ahli filsafat babon aliran Semiotika, bahwa pengarang telah mati, maka setiap kata nan lepas dari mulut kita, telah menjadi milik pendengarnya, dan tafsirnya bakal terus hidup.

Artinya untuk mencapai pemahaman bersama, komunikasi dua arah kudu terus berlanjut, agar pudarnya loncat konklusi (jumping conclusion) nan dapat menimbulkan kesenjangan komunikasi (communication gap).

Dalam konteks ini membicarakan Hasan Nasbi dengan karakter pekerjaan asalnya sebagai konsultan, susah membayangkan bahwa dia, sekedar memanfaatkan wow effect sehingga kasus instansi Tempo mendapatkan atensi besar seperti sekarang ini.

Lebih dari itu saya pikir, Hasan Nasbi punya kontrol isu, membuatnya menyiapkan pola respons nan bertingkat untuk memenangkan rumor itu.

Ketiga, komunikasi membuka ruang untuk bermufakat (zone of possible agreement), daripada terlalu banyak semboyan dan formalitas politik hanya bakal menciptakan jarak. Juru bicara nan mau menembus hati publik kudu berbincang seperti sahabat-tenang, mengalir, namun tetap berbobot.

Respons Hasan Nasbi seakan mengkonfirmasi, bahwa langkah wartawan Tempo Franscisca merespons teror, dengan menghilangkan relevansi dari teror itu sendiri. Bahwa teror tidak membikin mereka takut, sehingga teror itu tidak mendapatkan tempat untuk ditakuti.

Dalam konteks komunikasi perihal ini disebut inokulasi komunikasi, perumpamaannya seperti di bumi medis, tubuh perlu diberikan vaksin untuk menstimulasi, daya tahan tubuh agar tidak muda terserang virus, dalam komunikasi vaksin disuntikan kepada khalayak khususnya lewat jalur media, bahwa negara tidak takut dengan teror dan melindungi kebebasan pers.

Tentu sembari merumuskan Tindakan koersif, menghubungkan ke saluran komunikasi nan lebih tepat ialah kepolisian, mempercepat penindakan, dan mengurai jenis keterlibatan beragam pihak.

Pembacaan tiga tahap di atas bukan berfaedah tanpa kritik, dalam konteks rumor kontroversial ini setidaknya ada empat perihal nan kudu disikapi, pertama pernyataan ahli bicara kudu memandang aspek sense of crisis, dengan sensitif atas ketakutan-ketakutan publik.

Kedua, negara kudu mawas atas waktu dan momentum, respon ahli bicara kudu kondusif, memandang di bulan puasa, dan keadaan kiriman kepala babi busuk bukan untuk konsumsi, maka pilihan satire seperti itu dipertimbangkan untuk tidak dikomunikasikan.

Ketiga, tentu komunikasi dibutuhkan simpati mendalam, setidaknya direspon dalam forum resmi Kantor Komunikasi Presiden, sehingga lebih formal, terdata dan dapat dipertanggung jawabkan.

Keempat dibutuhkan keajekkan, menurut Thomas R Dye (1992), komunikasi kebijakan publik mengenai whatever governments choose to do or not to do.

Artinya komunikasi tak boleh menggunakan Bahasa bersayap apalagi mengambang, nan membuka banyak interpretasi, komunikasi kudu ajek, ahli bicara cukup sekadar menguatkan narasi dan menyuguhkan rasionalisasi nan kuat atas pilihan kebijakan pemerintah agar optimal penerimaan publik, juga optimal penerimaan pemerintah atas pertimbangan dari publik.

Hasan Nasbi dan Apresiasi Transformasi Gaya komunikasi

Dari masa ke masa, style komunikasi ahli bicara kepresidenan terus berevolusi. Pada era SBY, komunikasi pemerintah penuh dengan formalitas, serius, kesan kaku namun komprehensif.

Beranjak ke masa Jokowi, muncul sentuhan kharisma dan lawakyang membawa politik lebih dekat ke hati rakyat. Kini, di era Prabowo, bunyi ahli bicara tak hanya bergaung di ruang konferensi, tetapi juga berceceran di media sosial, dikutip, dipotong, dijadikan meme, dan dinilai setiap detiknya oleh jutaan pasang mata.

Transformasi style komunikasi nan mencolok era Kantor Komunikasi Presiden. Seperti karakter humbleness, di mana ahli bicara nan baik adalah mereka nan bisa merunduk tanpa kehilangan kehormatan. Kata-kata mereka bukanlah tembok, melainkan jembatan. Mereka tahu kapan kudu berbicara, kapan kudu mendengar, dan kapan kudu mengakui bahwa mereka juga manusia nan bisa keliru.

Gaya bicara juga lebih berkawan menitikberatkan pada memberi pemahaman, lantaran Dalam masyarakat nan semakin sibuk dan info nan berlimpah, pesan nan sederhana lebih berkekuatan daripada pidato nan berbelit. Kata-kata nan jujur, lugas, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari jauh lebih melekat daripada pernyataan nan penuh basa-basi.

Kesederhanaan bukan berfaedah kekurangan makna, justru di sanalah letak kebijaksanaan. Pada akhirnya, di era di mana setiap kata dapat menjadi viral dalam hitungan detik, ahli bicara nan humble, santai, dan mudah dimengerti bukan hanya sebuah keinginan, tetapi sebuah keharusan. Sebab, di kembali layar kaca dan mikrofon nan berdiri kokoh, ada jutaan hati nan menunggu bukan hanya informasi, tetapi juga ketulusan.

Maka sebagai proposal publik, mengenai teror media ini, Kantor Komunikasi Presiden perlu lebih merespons kembali. Meski sediki saja, lantaran teror terhadap media sejatinya tidak hanya ancaman bagi insan pers, tapi juga teror pada kerakyatan itu sendiri. Sebab, perjalanan bangsa ini tanpa pers nan independen, seperti melangkah dalam kegelapan, melangkah tanpa tahu kudu kemana.


Ikrama Masloman. Peneliti Senior LSI.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Selengkapnya